Pemerintah melakukan penyesuaian kebijakan impor tekstil dan produk tekstil untuk menjaga daya saing industri dalam negeri. Melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 17 Tahun 2025, pemerintah memberikan relaksasi impor terhadap bahan baku dan bahan penolong industri, namun memperketat ketentuan impor untuk pakaian jadi dan aksesorisnya.
Industri tekstil nasional tengah menjalani masa pemulihan setelah mengalami tekanan berat akibat pandemi dan disrupsi global lainnya. Di tengah proses membangkitkan kembali daya saing sektor ini, muncul tantangan baru berupa desakan regulasi dari kelompok tertentu yang justru dapat mengganggu stabilitas pemulihan.
Direktur Eksekutif Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas, menyoroti adanya kelompok-kelompok yang mengklaim mewakili industri namun bertindak memperkeruh situasi. Ia menyebut tindakan tersebut sebagai upaya sistematis untuk memaksakan kepentingan melalui tekanan kebijakan publik. Salah satu kasus yang disorot adalah desakan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) agar pemerintah memberlakukan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk benang filamen sintetik tertentu dari China, seperti Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY).
Fernando mengungkapkan bahwa usulan tersebut sempat ditolak karena dinilai berpotensi melemahkan industri hilir, termasuk tekstil dan garmen, yang dapat memicu puluhan ribu pemutusan hubungan kerja (PHK). Ia menegaskan bahwa pemerintah telah mengambil langkah tepat dengan menolak usulan tersebut setelah melakukan analisis dampak secara menyeluruh dan objektif.
Lebih lanjut, ia juga mengkritik Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI) yang mendorong penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib bagi seluruh produk tekstil. Saat ini, SNI wajib baru diterapkan pada pakaian bayi karena alasan keselamatan, seperti potensi kandungan zat berbahaya yang dapat membahayakan kesehatan bayi. Fernando mengingatkan bahwa penerapan SNI wajib untuk seluruh produk pakaian jadi memerlukan kajian komprehensif.
Ia mengacu pada data BPS yang mencatat keberadaan lebih dari 909.000 industri pakaian jadi skala mikro dan sekitar 5.800 industri skala besar dan menengah, dengan total serapan tenaga kerja hampir 2,9 juta orang. Jika SNI diwajibkan untuk semua produk, muncul kekhawatiran akan kriminalisasi pelaku usaha kecil yang hanya memiliki perlengkapan terbatas.
Menurut Fernando, perhatian yang lebih mendesak seharusnya diberikan pada pembenahan tata niaga impor pakaian jadi yang saat ini sedang dibahas oleh pemerintah. Ia mengingatkan agar fokus pemerintah dalam memperkuat industri nasional tidak terganggu oleh tekanan kelompok yang hanya memperjuangkan kepentingan sempit.
Dalam kondisi industri yang masih rapuh, keberpihakan terhadap keberlangsungan usaha dan perlindungan tenaga kerja menjadi hal utama. Pemerintah perlu konsisten menjaga keseimbangan antara regulasi dan keberlanjutan industri agar pemulihan berjalan optimal tanpa menimbulkan efek negatif yang meluas.
Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI) kembali menyoroti lemahnya perlindungan konsumen dalam industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia. Hingga saat ini, hanya pakaian bayi yang diatur dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib, sementara mayoritas produk tekstil lainnya masih bersifat sukarela. Hal ini dinilai merugikan konsumen karena tidak adanya jaminan standar mutu yang mengikat secara hukum.
Page 1 of 324