Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) terus berlanjut dan semakin marak. Berdasarkan catatan Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), setidaknya 13.800 pekerja di pabrik TPT telah menjadi korban PHK sejak awal tahun 2024. Fenomena ini menjadi sorotan utama Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI).

Ketua Umum IKATSI, Muhammad Shobirin, menyampaikan keprihatinannya terhadap situasi ini. Menurutnya, industri TPT sedang menghadapi tantangan besar yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah serta seluruh pemangku kepentingan. "Industri TPT sedang mengalami tantangan besar. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan membutuhkan perhatian serius dari pemerintah serta semua pemangku kepentingan," ujar Shobirin dalam keterangan resminya pada Senin (10/6).

Shobirin mengusulkan beberapa langkah penting untuk mengatasi gelombang PHK yang terus meningkat di sektor TPT. Usulan pertama adalah pembentukan undang-undang pertekstilan. Ia menekankan perlunya undang-undang khusus yang mengatur industri pertekstilan untuk memberikan payung hukum dan perlindungan bagi industri ini, serta menjamin keberlanjutan usaha dan kesejahteraan pekerja. "Kami mengusulkan segera dibuatkan UU Pertekstilan yang dapat memberikan payung hukum dan perlindungan bagi industri ini, serta menjamin keberlanjutan usaha dan kesejahteraan pekerja," tambahnya.

Selain itu, Shobirin juga menyoroti pentingnya regulasi Kementerian yang sesuai dengan kondisi nyata kebutuhan industri TPT. Ia mencontohkan Permendag 8/2024 yang dinilai bertolak belakang dengan kebutuhan industri TPT nasional. "Regulasi yang ada harus disesuaikan dengan realitas industri saat ini. Contoh nyata adalah Permendag 8/2024 yang justru bertolak belakang dengan kebutuhan industri TPT nasional. Kebijakan yang tidak relevan hanya akan memperparah kondisi," jelasnya.

Shobirin juga menekankan perlunya stimulus keuangan untuk meningkatkan daya saing di industri TPT. Menurutnya, stimulus keuangan sangat diperlukan guna mendukung industri dalam menghadapi persaingan global dan menjaga keberlangsungan usaha. “Stimulus keuangan sangat diperlukan guna mendukung industri dalam menghadapi persaingan global dan menjaga keberlangsungan usaha,” tutur Shobirin.

Ia memperingatkan tentang potensi gejala deindustrialisasi yang bisa terjadi jika semakin banyak pabrik tekstil dan garmen yang tutup. Penutupan pabrik-pabrik ini tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga pada lapangan kerja dan kesejahteraan pekerja. "Jika kondisi ini dibiarkan, kami akan melihat gejala deindustrialisasi yang nyata. Penutupan pabrik-pabrik ini tidak hanya berdampak pada ekonomi tetapi juga pada lapangan kerja dan kesejahteraan pekerja," tuturnya.

Shobirin juga menyoroti faktor eksternal seperti fluktuasi harga bahan baku, nilai tukar rupiah dengan valuta asing, desakan impor barang dari luar baik secara legal maupun ilegal, serta persaingan global yang ketat, yang turut memperparah kondisi industri TPT. "Kami juga harus mengantisipasi faktor eksternal yang mempengaruhi industri ini, seperti fluktuasi harga bahan baku, nilai tukar rupiah dengan valuta asing, dan desakan impor barang dari luar baik secara legal maupun ilegal, serta persaingan global yang semakin ketat," katanya.

Untuk mengatasi krisis ini, Shobirin mengajak seluruh pihak terkait untuk bekerja sama dalam mencari solusi terbaik guna menyelamatkan industri TPT. "Kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan pekerja sangat penting untuk menemukan solusi yang tepat dan menjaga kelangsungan industri ini,” tandasnya.