Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tengah menghadapi masa sulit akibat berbagai tantangan ekonomi, termasuk ancaman kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai Januari 2025. Meskipun kebijakan tersebut belum langsung menyasar sektor tekstil, dampak tidak langsung dari kenaikan ini dikhawatirkan memperparah kondisi yang sudah berat.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Danang Girindrawardana, mengungkapkan bahwa sektor tekstil telah mengalami kemunduran signifikan dalam tiga tahun terakhir. Hal ini tercermin dari tingginya jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di industri tersebut. Dalam situasi sulit seperti ini, kebijakan ekonomi yang membebani dianggap dapat memicu efek domino yang memperburuk kondisi industri.

Namun, Presiden Prabowo Subianto memberikan klarifikasi bahwa kenaikan PPN menjadi 12 persen hanya akan diberlakukan untuk barang mewah. Menurutnya, kebijakan ini dirancang untuk melindungi rakyat kecil dari dampak inflasi dan peningkatan harga barang kebutuhan pokok. Dengan demikian, sektor tekstil yang mayoritas memproduksi barang kebutuhan sehari-hari tidak akan terkena langsung oleh kebijakan tersebut.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyebut bahwa pembatasan kenaikan PPN untuk barang mewah adalah langkah kompromis yang diambil pemerintah. Meski demikian, ia tetap menyarankan agar implementasi kebijakan ini ditunda. Penundaan tersebut dinilai penting untuk memberikan waktu adaptasi bagi pelaku industri dan mencegah gejolak ekonomi lebih lanjut.

Ke depan, industri tekstil memerlukan kebijakan yang lebih mendukung untuk bangkit dari keterpurukan. Pemerintah diharapkan tidak hanya mempertimbangkan aspek fiskal tetapi juga mendukung penguatan sektor industri melalui insentif, perlindungan tenaga kerja, dan akses pasar yang lebih luas. Tanpa langkah yang konkret, masa depan industri tekstil dapat terus terancam, meskipun kebijakan pajak untuk barang mewah terlihat sebagai solusi sementara.