Meskipun tarif bea masuk produk tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia ke Amerika Serikat (AS) telah turun menjadi 19 persen, kondisi ini belum tentu menjamin daya saing produk Indonesia meningkat di pasar global. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai bahwa tarif rendah saja tidak cukup untuk memenangkan persaingan ekspor, terutama di tengah ketatnya kompetisi dengan negara-negara di kawasan.
Peneliti Indef, Ahmad Heri Firdaus, menyebut berdasarkan simulasi model Global Trade Analysis Project (GTAP) versi 11, ekspor TPT Indonesia ke AS justru diperkirakan turun sebesar 4,88 persen. Sementara itu, impor TPT ke Indonesia diprediksi menurun sebesar 1,65 persen. Ini menandakan bahwa penurunan tarif belum mampu memperbaiki posisi Indonesia di pasar global, khususnya di sektor tekstil.
Indonesia memang memiliki tarif yang relatif lebih rendah dibandingkan negara pesaing seperti Thailand (36 persen), Laos (40 persen), Malaysia (25 persen), dan Vietnam (20 persen). Namun, Heri menegaskan bahwa persoalan utamanya bukan sekadar tarif, melainkan pada lemahnya efisiensi biaya produksi di Indonesia. Negara seperti Vietnam, India, dan Bangladesh unggul karena mampu memproduksi barang dengan biaya yang jauh lebih murah.
Sebagai gambaran, biaya produksi sepasang sepatu di Indonesia berkisar USD8. Di sisi lain, Vietnam mampu memproduksi barang serupa dengan biaya yang jauh lebih rendah. Dengan demikian, meskipun tarif bea masuk ke AS untuk produk Vietnam lebih tinggi, harga akhir produk mereka tetap kompetitif di pasar.
Indikator efisiensi seperti Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia juga masih tinggi. Ini menunjukkan bahwa untuk menghasilkan satu unit barang, Indonesia membutuhkan modal yang lebih besar dibandingkan negara pesaing. Hal ini berpengaruh langsung terhadap struktur biaya dan daya saing produk di pasar internasional.
Heri mengkritik pandangan yang terlalu menyederhanakan persoalan ekspor hanya dari sisi tarif. Ia menyoroti komponen biaya lain seperti listrik, energi, logistik, dan transportasi yang masih tinggi di Indonesia. Tanpa perbaikan menyeluruh pada aspek-aspek ini, Indonesia akan terus kesulitan menyaingi negara lain, meskipun secara nominal dikenai tarif lebih rendah.
Optimisme yang berlebihan terhadap penurunan tarif, menurut Heri, justru bisa menyesatkan arah kebijakan. Ia menekankan pentingnya fokus pada efisiensi produksi agar produk Indonesia benar-benar mampu bersaing dari sisi harga dan kualitas.
Dengan demikian, jika Indonesia ingin benar-benar memperkuat posisi ekspor TPT ke pasar global, maka reformasi struktural dan efisiensi produksi harus menjadi agenda utama. Tarif rendah memang menguntungkan, tetapi tanpa daya saing yang kuat, keuntungan tersebut akan sulit diwujudkan.