Tahun 2025 menjadi babak yang penuh gejolak sekaligus transformasi bagi industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia. Di tengah bayang-bayang deindustrialisasi, muncul titik terang dari adopsi teknologi hijau dan penandatanganan perjanjian dagang IEU-CEPA. Dari pailitnya raksasa industri hingga perlawanan terhadap gempuran barang impor, berikut adalah rangkuman 7 berita terpopuler yang membentuk wajah industri tekstil dan garmen Indonesia di sepanjang tahun 2025.

 

1. Runtuhnya Sang Raksasa: Puncak Krisis Sritex dan Gelombang PHK Massal

Kabar paling menghentak di awal tahun 2025 adalah babak akhir dari PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Setelah berjuang melawan tumpukan utang dan dinyatakan pailit sejak akhir 2024, proses pemutusan hubungan kerja (PHK) mencapai puncaknya pada Februari hingga Maret 2025. Lebih dari 11.000 pekerja terpaksa kehilangan mata pencaharian setelah kurator menetapkan penghentian operasional secara bertahap.

Kasus Sritex bukan sekadar kejatuhan satu perusahaan, melainkan simbol "badai sempurna" yang menghantam industri TPT nasional. Penurunan pesanan ekspor dari pasar tradisional seperti Amerika Serikat dan Eropa, diperparah dengan beban bunga bank yang tinggi, membuat raksasa yang dulu memproduksi seragam militer NATO ini harus menyerah. Peristiwa ini memicu efek domino yang membuat pemerintah harus turun tangan melalui skema perlindungan sosial bagi ribuan buruh yang terdampak.

 

2. Kontraksi IKI: Sinyal Bahaya di Tengah Pertumbuhan Nasional

Hingga penghujung tahun 2025, Indeks Kepercayaan Industri (IKI) menunjukkan tren yang mengkhawatirkan bagi sektor tekstil. Di saat 22 subsektor manufaktur lainnya berada di zona ekspansi, industri tekstil justru menjadi satu-satunya sektor yang terus mengalami kontraksi selama beberapa bulan berturut-turut.

Data per November 2025 mencatat IKI sektor tekstil merosot akibat rendahnya volume produksi dan menumpuknya persediaan produk di gudang. Para pengusaha menyebutkan bahwa daya beli masyarakat domestik beralih ke produk impor yang jauh lebih murah, sehingga pabrik-pabrik lokal terpaksa memangkas jam kerja atau melakukan sistem on-off produksi untuk menekan biaya operasional.

 

3. Polemik Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD): Tarik Ulur Hulu dan Hilir

Keputusan pemerintah pada Agustus 2025 untuk tidak menerapkan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) terhadap impor baku Polyester Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY) memicu debat hangat. Di satu sisi, industri hulu merasa tidak terlindungi dari serbuan benang impor murah yang melakukan praktik dumping. Di sisi lain, asosiasi seperti API dan APINDO yang selama ini menyuarakan perlindungan industri dari praktik dumping justru menyambut baik keputusan ini karena dianggap menyelamatkan industri hilir (garmen).

Tanpa pajak tambahan pada bahan baku, biaya produksi pakaian jadi dapat ditekan, sehingga risiko PHK massal di sektor garmen bisa diminimalisir. Kebijakan ini dianggap sebagai langkah jalan tengah yang sulit namun perlu diambil untuk menjaga stabilitas lapangan kerja di sektor padat karya. Disisi lain, keputusan ini membuka tabir adanya mafia kuota impor tekstil dibalik penolakan Kementerian Perindustrian mengenakan BMAD dan menyebabkan 5 perusahaan di sektor hulu gulung tikar.

 

4. Perang Melawan "Thrifting" Ilegal dan Gempuran Produk Tiongkok

Tahun 2025 menjadi tahun di mana pemerintah melalui Menteri Keuangan Purbaya bertindak lebih tegas terhadap perdagangan pakaian bekas impor (thrifting) ilegal dan banjir produk garmen murah dari Tiongkok. API, APSYFI dan IPKB berulang kali menyuarakan bahwa masuknya barang-barang ini secara ilegal telah membunuh ekosistem IKM (Industri Kecil Menengah) di Tanah Abang hingga sentra tekstil di Jawa Barat.

Pengawasan di pelabuhan tikus diperketat, dan kampanye "Cintai Produk Dalam Negeri" kembali digelorakan secara masif. Namun, tantangan tetap berat karena selisih harga yang mencolok membuat konsumen tetap tergiur pada barang impor, memaksa produsen lokal untuk terus memutar otak agar tetap kompetitif.

 

5. Pusaran Gelap Mafia Impor: "Benalu" yang Melumpuhkan Tekstil Nasional

Di balik rontoknya pabrik-pabrik tekstil dalam negeri pada tahun 2025, tersingkap sebuah tabir gelap mengenai eksistensi mafia impor dan mafia kuota impor. Praktik culas ini menjadi "benalu" yang menghisap daya hidup industri TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) nasional, menciptakan ketidakadilan pasar yang ekstrem.

Modus operandi mafia impor umumnya melibatkan pelarian pos tarif dan impor borongan ilegal. Barang-barang garmen jadi asal Tiongkok masuk ke pelabuhan Indonesia dengan dokumen yang dimanipulasi—sering kali dideklarasikan sebagai bahan baku atau produk lain dengan nilai pabean yang jauh di bawah harga pasar. Hal ini membuat pasar domestik dibanjiri pakaian murah yang mustahil disaingi oleh produsen lokal yang harus membayar pajak, upah layak, dan listrik tinggi.

Lebih sistematis lagi adalah praktik mafia kuota impor. Sejumlah oknum memanfaatkan celah dalam pemberian Persetujuan Impor (PI). Perusahaan "hantu" yang tidak memiliki pabrik justru mendapatkan kuota impor besar, yang kemudian diperjualbelikan kepada importir lain. Akibatnya, alokasi yang seharusnya ditujukan untuk menjaga keseimbangan stok bahan baku industri hilir, justru disalahgunakan untuk mendatangkan barang jadi yang langsung menghantam UMKM di pusat-pusat grosir.

 

6. Kebangkitan "Sustainable Fashion" dan Material Organik

Kesadaran lingkungan generasi muda Indonesia mendorong tren Sustainable Fashion ke level tertinggi di tahun 2025. Banyak brand lokal mulai beralih menggunakan serat alami seperti rami, bambu, hingga kulit sintetis dari jamur (mycelium).

Pameran seperti Ecoprint Fashion Trend 2025 menunjukkan bahwa tekstil tradisional seperti Tenun NTT dan Batik Pesisir yang menggunakan pewarna alami memiliki nilai jual tinggi di pasar global sebagai produk eco-luxury. Transformasi menuju industri hijau ini bukan lagi sekadar tren, melainkan strategi bertahan hidup agar produk Indonesia bisa menembus pasar Eropa yang menetapkan standar lingkungan sangat ketat.

 

7. Harapan Baru dari Perjanjian IEU-CEPA

Meski dihantam badai tarif Trumph, menutup tahun 2025, rampungnya poin-poin krusial dalam perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif Indonesia-Uni Eropa (IEU-CEPA) memberikan angin segar. Perjanjian ini diharapkan dapat menghapus hambatan tarif bagi produk tekstil Indonesia yang masuk ke pasar Eropa.

Dengan akses pasar yang lebih luas, para pelaku industri berharap 2 tahun kedepan akan menjadi tahun pemulihan. Investasi pada mesin-mesin modern yang lebih hemat energi mulai meningkat kembali di akhir tahun, menandakan optimisme bahwa industri tekstil Indonesia masih memiliki daya juang untuk tetap menjadi tulang punggung ekonomi nasional.

 

Jakarta, 24 Desember 2025

REDAKSI