Menjelang tahun 2026, industri kapas global berada di persimpangan jalan yang kontradiktif. Di satu sisi, stabilitas harga kapas yang rendah menjadi "angin segar" bagi para peritel dan produsen pakaian garmen. Namun di sisi lain, kondisi ini menciptakan tekanan finansial yang berat bagi para petani di hulu. Analisis mendalam terhadap sektor ini menunjukkan bahwa meskipun permintaan konsumen terhadap serat alami tetap tinggi, rantai pasok kapas sedang bertarung melawan inflasi biaya produksi, pergeseran geopolitik, dan volatilitas cuaca.
Jon Devine, ekonom senior di Cotton Incorporated, menyoroti bahwa harga kapas saat ini telah kembali ke level rendah sebelum masa pandemi. Bagi merek fesyen, stabilitas harga bahan baku ini adalah titik terang di tengah lautan ketidakpastian ekonomi. Data dari 2025 Lifestyle Monitor Survey memperkuat peluang ini, di mana 74 persen konsumen masih memilih kapas sebagai bahan favorit mereka, dan hampir 60 persen bersedia membayar lebih untuk serat alami. Namun, keuntungan bagi hilir ini berbanding terbalik dengan nasib petani. Biaya input pertanian—seperti pupuk dan bahan bakar—telah melonjak sekitar 30 persen sejak 2019, mengakibatkan margin keuntungan petani menyusut hingga ke zona negatif.
Penyebab utama rendahnya harga kapas global adalah perubahan dinamika di dua kekuatan besar: Tiongkok dan Brasil. Tiongkok, yang merupakan pengolah kapas terbesar dunia, secara drastis memangkas impornya dari 15 juta bal pada musim 2023/24 menjadi hanya sekitar 5 juta bal pada musim berikutnya. Penurunan permintaan ini terjadi bersamaan dengan ledakan pasokan dari Brasil, yang produksi kapasnya meningkat tiga kali lipat dalam 15 tahun terakhir. Kombinasi antara berkurangnya serapan dari Tiongkok dan melimpahnya pasokan internasional telah menciptakan persaingan harga yang ketat, menekan nilai jual kapas ke titik terendah.
Di luar faktor pasar, tantangan eksistensial muncul dari anomali cuaca. Ewan Lamont dari Indigo Ag menekankan bahwa profitabilitas petani kini "disandera" oleh cuaca ekstrem. Sebagai contoh, di Arkansas pada musim 2024, dua badai yang melanda dalam waktu singkat menghancurkan kualitas serat kapas dan menghapus potensi keuntungan. Sebagai solusinya, praktik pertanian regeneratif mulai dilirik sebagai strategi manajemen risiko jangka panjang. Melalui penggunaan tanaman penutup (cover crops) dan perbaikan kesehatan tanah, petani dapat menciptakan "benteng alami" terhadap kekeringan dan banjir, sekaligus meningkatkan kualitas serat yang mampu menarik harga premium di pasar.
Masa depan industri ini di tahun 2026 juga akan sangat bergantung pada arah kebijakan perdagangan, terutama terkait tarif impor Amerika Serikat. Ketidakpastian mengenai kebijakan tarif, khususnya yang menyasar Tiongkok, telah memicu kekhawatiran akan penurunan permintaan pakaian di AS. Jika daya serap pasar ritel melambat akibat kenaikan biaya dari tarif, maka stok kapas global akan semakin melimpah, yang pada gilirannya akan menjaga harga tetap rendah.
Pada akhirnya, keberlanjutan industri kapas untuk tahun 2026 membutuhkan sinergi yang lebih erat antara merek fesyen dan petani. Perusahaan mode besar seperti The North Face mulai berinvestasi langsung dalam pertanian regeneratif untuk mengamankan rantai pasok mereka. Langkah ini menunjukkan bahwa untuk bertahan di masa depan, industri tidak bisa lagi hanya mengandalkan harga murah. Dibutuhkan komitmen bersama untuk menjaga kesejahteraan petani di hulu agar produksi serat alami yang dicintai konsumen dunia tetap terjaga di tengah guncangan ekonomi dan iklim yang semakin tidak terduga.
Jakarta, 21 Desember 2025
REDAKSI