Vietnam telah resmi menerapkan kebijakan pajak minimum global sebesar 15 persen untuk perusahaan multinasional, yang akan mulai berlaku pada Januari 2024. Keputusan ini telah disahkan oleh Parlemen Vietnam pada akhir November 2023, sejalan dengan kesepakatan global yang telah disetujui oleh lebih dari 130 negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada tahun 2021. Selama beberapa dekade, perusahaan besar dan individu kaya secara sah telah mentransfer keuntungan mereka ke negara-negara dengan tarif pajak rendah atau bahkan bebas pajak. Namun, dengan kebijakan pajak baru ini, perusahaan besar yang memiliki omzet global lebih dari 825 juta dollar AS atau sekitar Rp 12,7 triliun yang membayar pajak kurang dari 15 persen di yurisdiksi berpajak rendah akan menghadapi tambahan pajak, baik di negara tersebut maupun di negara asal mereka.

Langkah Vietnam ini diyakini akan mempengaruhi negara-negara lain yang juga mendapatkan manfaat dari strategi "China plus one", seperti Thailand. Kebijakan ini diharapkan dapat mengatasi praktik penghindaran pajak dan persaingan untuk tarif yang rendah di antara berbagai yurisdiksi.

Vietnam sebelumnya menerapkan tarif pajak efektif sebesar 20 persen, namun dalam beberapa tahun terakhir negara tersebut memberikan keringanan pajak dan liburan pajak kepada investor asing yang besar. Sebagai contoh, perusahaan elektronik Samsung dari Korea Selatan hanya membayar pajak sebesar 5,1 persen di Vietnam karena berbagai insentif pajak yang diberikan oleh pemerintah setempat.

Negara ini juga menjadi rumah bagi pabrik global terbesar Intel dalam merakit, mengemas, dan menguji chip, serta perusahaan Amerika Serikat tersebut tengah mempertimbangkan untuk memperluas operasinya di sana. Perusahaan Tiongkok yang juga merupakan kontributor asing besar di Vietnam belum mengumumkan apakah akan mengadopsi aturan OECD ini karena dampaknya terhadap jumlah pajak yang harus dibayar di Vietnam dan rencana investasinya.

Perusahaan raksasa ini dipastikan akan menghadapi kenaikan biaya pajak yang signifikan. Kementerian Keuangan Vietnam memperkirakan potensi penerimaan pajak dari kebijakan baru ini sekitar 14,6 triliun dong (Rp 9,3 triliun) per tahun.

Sebagai eksportir utama elektronik dan tekstil, perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) merupakan salah satu pilar pertumbuhan ekonomi Vietnam, menyumbang 4 hingga 6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan mencapai total 438 miliar dollar AS pada Desember tahun lalu. Meskipun begitu, Kamar Dagang Korea di Vietnam menyatakan kekhawatiran anggotanya terhadap tarif pajak baru ini, namun tidak ada yang mengindikasikan niat untuk mengubah investasi mereka di Vietnam.

Namun, beberapa konsultan pajak seperti Dezan Shira Thang Vu menyatakan bahwa Vietnam bisa mengalami penurunan investasi asing jika tidak menyediakan alternatif ekonomi yang memadai bagi mereka yang terkena dampak pajak baru. Partner di kantor hukum Baker McKenzie, Nguyen Thanh Vinh, juga menyoroti kebutuhan akan insentif baru, terutama bagi perusahaan multinasional yang terpengaruh.

"Pemerintah harus menawarkan insentif baru yang memadai untuk menarik investasi asing agar Vietnam tetap menarik bagi PMA dalam jangka pendek," kata Vinh di Ho Chi Minh City, seperti yang dilansir oleh Financial Times, Sabtu (02/12).

Kementerian Investasi Vietnam mengusulkan subsidi tunai bagi perusahaan teknologi tinggi dengan investasi minimal 12 triliun dong untuk menutupi biaya-biaya seperti pelatihan, penelitian, dan infrastruktur. Meskipun usulan ini tertunda di Parlemen Vietnam karena perlu waktu lebih lama untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan global dan risiko hukum yang mungkin timbul dari investor yang tidak memiliki akses ke subsidi ini, terutama bagi perusahaan yang mungkin tidak memenuhi syarat untuk insentif baru yang diusulkan saat ini.