Industri Polyester di Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar yang dapat mengancam kelangsungannya karena kesulitan memenuhi kebutuhan bahan bakunya, yaitu Mono Etilen Glikol (MEG). Situasi ini menimbulkan kekhawatiran akan dampak negatifnya terhadap industri turunannya, seperti industri tekstil dan sektor lainnya. Menurut Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wiraswata, masalah ini disebabkan oleh kebijakan yang kurang cermat dalam mengatur pasokan MEG, yang saat ini mengalami kelangkaan atau shortage. Kebutuhan MEG di Indonesia yang mencapai 600.000 ton per tahun jauh melebihi kapasitas produksi domestik yang hanya sekitar 200.000 ton per tahun. Dalam tiga tahun terakhir, Indonesia bahkan hanya mampu memproduksi sekitar 50.000 ton MEG per tahun.

Kondisi ini memaksa Indonesia untuk mengimpor sebagian besar MEG, dengan mayoritas berasal dari Arab Saudi. Namun, pelaku usaha saat ini menghadapi kendala dalam mengimpor MEG karena adanya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 36 Tahun 2023 yang mengubah pengawasan impor dari post border menjadi border.

APSyFI, meskipun mendukung implementasi Permendag 36/2023 untuk memprioritaskan produk domestik, menganggap bahwa pembatasan impor MEG hanya melalui pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta dapat menghambat industri Polyester. Hal ini disebabkan karena Tanjung Priok tidak memiliki fasilitas impor MEG, sedangkan Pelabuhan Merak di Banten yang memiliki fasilitas tersebut, tidak diizinkan untuk impor MEG berdasarkan Permendag tersebut.

Kendala ini berpotensi mengancam kelangsungan industri Polyester di Indonesia dan berdampak pada rantai industri turunannya, termasuk industri tekstil, botol, dan kemasan. Pasokan Polyester sebagai bahan baku utama bagi industri tersebut terancam terputus, mengakibatkan berhentinya operasi pabrik dan pemutusan hubungan kerja bagi ribuan karyawan.

APSyFI telah mengkomunikasikan masalah ini kepada pemerintah sejak Desember 2023, namun hingga saat ini belum ada solusi yang ditemukan. Kesulitan impor MEG juga berpotensi menyebabkan Indonesia kehilangan devisa ekspor sekitar US$ 600 juta karena 20% hasil produksi Polyester nasional diekspor.

Dalam menghadapi situasi ini, diperlukan kerjasama antara pemerintah, pelaku usaha, dan berbagai pihak terkait untuk mencari solusi yang dapat menjaga kelangsungan industri Polyester dan rantai industri turunannya di Indonesia. Kebijakan yang lebih fleksibel dan koordinasi yang efektif diperlukan untuk mengatasi permasalahan ini sebelum dampaknya semakin luas dan merugikan bagi perekonomian nasional.