Keputusan pemerintah untuk membebaskan kembali impor komoditas mono etilen gliko (MEG) mendapat sambutan positif dari Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wiraswata. Langkah ini diharapkan akan memberikan dorongan bagi industri lokal, sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor barang konsumsi dan bahan baku. Pada Selasa, 12 Maret 2024, Redma menyatakan, "Ini merupakan langkah perbaikan dari hulu ke hilir, sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo agar kami mengurangi ketergantungan terhadap barang impor konsumsi maupun bahan baku."
Menurut Redma, meskipun Permendag 36/2024 tidak melarang impor MEG, pemerintah tetap memberlakukan batasan tertentu terkait impor bahan baku tersebut. Salah satunya adalah terkait pelabuhan pembongkaran barang impor, yang sebelumnya dilakukan secara pasca perbatasan (post-border) dan kini berubah menjadi sebelum perbatasan (border). Namun, pembongkaran barang impor MEG hanya diperbolehkan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, sementara fasilitas impor MEG berada di Pelabuhan Merak, Banten.
Meskipun produksi MEG secara lokal telah dilakukan oleh Polychem Indonesia, kapasitas produksi nasional masih jauh dari memenuhi kebutuhan industri pengguna MEG, yang mencapai 600 ribu ton per tahun. Selain itu, harga MEG lokal juga lebih tinggi daripada impor, dengan perbandingan harga mencapai 35 persen. Hal ini membuat harga MEG lokal mencapai sekitar USD 700 per ton, sementara harga MEG impor sekitar USD 550 per ton.
Arif Sulistiyo, Direktur Impor Kementerian Perdagangan, menyatakan bahwa pembebasan impor MEG ini diharapkan dapat membantu industri pengguna bahan baku plastik dan MEG dalam mendapatkan pasokan bahan baku. Menurutnya, perubahan kebijakan ini diperlukan karena industri sejenis di dalam negeri belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Permendag tersebut diterbitkan setelah pemerintah menerima masukan dari berbagai pihak, termasuk Kamar Dagang dan Industri (Kadin), serta beberapa asosiasi pelaku usaha seperti APSyFI, Asosiasi Plastik Hilir Indonesia, Rotokemas Indonesia, Asosiasi Biaxially Oriented Films Indonesia, dan Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia.
Dengan langkah ini, diharapkan industri serat dan benang filamen serta sektor-sektor terkait lainnya dapat terus tumbuh dan berkembang, mendukung pertumbuhan ekonomi dalam negeri, serta menciptakan lingkungan bisnis yang lebih berkelanjutan di Indonesia.