Di tengah kekhawatiran akan dampak ekologis dari industri fashion yang berkembang pesat, muncul sebuah tren yang tidak hanya menginspirasi, tetapi juga memberikan solusi nyata. Dalam Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional tahun 2021, Indonesia tercatat menghasilkan 2,3 juta ton limbah tekstil atau produk fashion. Namun, yang memprihatinkan, hanya 0 ton yang berhasil didaur ulang.

Melihat kondisi ini, seorang seniman asal Kabupaten Bandung, Labib, juga dikenal sebagai Feelflow_40r, merespons dengan langkah inovatif. Dia menggunakan teknik kaketsugi, sebuah teknik tradisional Jepang untuk memperbaiki pakaian dengan menambahkan kain tambahan. Namun, Labib tidak hanya memperbaiki, melainkan juga menciptakan karya baru dengan menyisipkan benang-benang dari kain tambahan ke dalam tenunan kain yang rusak.

Labib telah menerapkan praktik mendaur ulang ini selama empat tahun terakhir. Hasil karyanya tidak hanya diminati di pasar lokal, tetapi juga menarik perhatian pasar internasional. Menurutnya, pakaian yang rusak seharusnya tidak dianggap sebagai sampah, tetapi sebagai bahan mentah untuk menciptakan produk baru yang bernilai seni tinggi.

"Sebagai seorang seniman, saya melihat potensi dalam setiap pakaian yang rusak. Dengan teknik mending dan kaketsugi, kami bisa mengubahnya menjadi sesuatu yang indah dan bermakna," ujarnya.

Dalam prosesnya, Labib tidak hanya mendapatkan pesanan untuk memperbaiki pakaian lama, tetapi juga untuk menciptakan karya baru seperti kimono dari kain sisa jeans atau kemeja. Harga produk bervariasi, tergantung pada kompleksitas desain dan bahan yang digunakan, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Ini adalah langkah praktis menuju konsep slow fashion.

Slow fashion bukan hanya tentang memproduksi secara bertanggung jawab terhadap lingkungan, tetapi juga tentang mempromosikan budaya pemakaian yang bertahan lama. Labib menyadari bahwa tren fast fashion, yang memicu produksi besar-besaran dengan siklus cepat, telah memberikan dampak negatif yang signifikan pada lingkungan.

"Dengan praktik slow fashion, kami berusaha memperkenalkan cara baru dalam berpakaian dan berbelanja yang lebih berkelanjutan. Kami ingin menyadarkan orang akan nilai dari setiap pakaian dan memperpanjang siklus hidupnya," katanya.

Dalam pandangan Labib, perubahan budaya ini bukan hanya tentang memperbaiki masalah lingkungan saat ini, tetapi juga tentang menciptakan masyarakat yang lebih sadar akan dampak dari setiap keputusan konsumsi mereka. Dengan memilih slow fashion, seseorang tidak hanya berinvestasi dalam kualitas, tetapi juga dalam masa depan planet ini.

Berdasarkan semangat inovatif Labib dan semangatnya untuk mengubah pola pikir konsumen, tren slow fashion tidak hanya menjadi alternatif yang menarik, tetapi juga solusi nyata untuk mengurangi dampak negatif industri fashion terhadap lingkungan. Semoga praktik seperti ini terus berkembang dan menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk berpakaian dengan lebih bijaksana demi kesejahteraan planet ini.