Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menyerap tenaga kerja baru. Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Danang Grindrawardana, mengungkapkan bahwa sektor ini, yang dikenal sebagai industri padat karya, saat ini justru mengalami kesulitan untuk menambah jumlah tenaga kerja. Sebaliknya, banyak perusahaan di sektor ini yang terpaksa mengurangi tenaga kerja mereka akibat berbagai kebijakan dan kondisi yang melemahkan industri.
Danang Grindrawardana juga mencatat bahwa sektor jasa perdagangan, jasa, dan manufaktur lainnya mengalami stagnasi dalam penyerapan tenaga kerja. Data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan bahwa investasi pada tahun 2023 mencapai sekitar Rp1.400 triliun dengan total penyerapan tenaga kerja sebanyak 1.823.543 orang. Namun, data ini tidak spesifik menunjukkan penyerapan tenaga kerja di sektor investasi mana, sehingga menimbulkan keraguan tentang akurasi dan relevansi data tersebut.
"Meskipun itu diklaim lebih dari 1% dari target, saya rasa itu harus benar-benar dibuktikan secara faktual, bukan secara administratif, supaya tidak menyesatkan dalam perumusan kebijakan di masa depan," ujar Danang pada Rabu, 22 Mei 2024.
Menurut Danang, kendala utama dalam menyerap tenaga kerja baru adalah ketidaksesuaian antara kualifikasi pekerja yang baru lulus (fresh graduate) dengan spesifikasi teknis yang dibutuhkan oleh industri. Meskipun ia meyakini masalah ini dapat diatasi secara alami melalui seleksi alam, proses ini berjalan sangat lambat.
Selain itu, ekspansi industri manufaktur dihadapkan pada berbagai tantangan, termasuk keberpihakan pejabat pemerintah terhadap China dalam proyek-proyek strategis terkait eksplorasi sumber daya alam dan infrastruktur. Hal ini mengakibatkan pelaku usaha domestik yang tidak berafiliasi dengan pejabat tidak mendapatkan kesempatan yang adil untuk berkontribusi secara aktif.
"Kalau soal serapan dan peningkatan kualitas tenaga kerja, saya menilai Pemerintah di ujung kepemimpinannya, telah gagal mempercepat kesiapan lulusan pendidikan formal untuk menyambut kebutuhan industri maju yang padat teknologi," tambah Danang.
Danang juga menyoroti masalah dalam kurikulum pendidikan yang dianggapnya sering berubah-ubah sesuai kehendak menteri pendidikan tanpa mempertimbangkan masukan dari Menteri Tenaga Kerja. Hal ini, menurutnya, menghambat kesiapan lulusan pendidikan formal untuk memenuhi kebutuhan industri yang semakin maju dan berbasis teknologi.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa pemerintah gagal melindungi industri padat karya seperti tekstil, garmen, dan alas kaki. Pemerintah dianggap lalai dalam mengendalikan produk-produk impor yang merugikan industri domestik. Akibatnya, industri ini menjadi lemah dan tidak mampu menyerap tenaga kerja baru, justru harus melepaskan lebih dari 100.000 tenaga kerja sepanjang 2022 hingga awal 2024.
Industri TPT di Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam menyerap tenaga kerja baru. Kebijakan pemerintah, ketidaksesuaian kualifikasi tenaga kerja, dan dominasi produk impor menjadi faktor-faktor utama yang menghambat perkembangan industri ini. Diperlukan langkah konkret dari pemerintah untuk melindungi dan mendukung industri padat karya serta memastikan kesesuaian antara kurikulum pendidikan dan kebutuhan industri agar sektor ini dapat berkembang dan menyerap lebih banyak tenaga kerja di masa mendatang.