Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia mengalami kontraksi yang cukup signifikan pada triwulan II tahun 2024. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa industri ini mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 0,03 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Meskipun angka ini tampak kecil, pertumbuhan industri TPT dan pakaian jadi secara quarter-to-quarter (qtq) terkontraksi lebih besar, yaitu sebesar 2,63 persen.
Faktor Penyebab Kontraksi
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Moh. Edy Mahmud, menyampaikan bahwa kontraksi ini terjadi baik secara tahunan maupun kuartalan. Hal ini menunjukkan adanya masalah mendasar dalam industri tekstil Indonesia yang membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak terkait.
Salah satu penyebab utama kontraksi ini adalah serangkaian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan tekstil. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia, Mirah Sumirat, mengungkapkan bahwa PHK ini dipicu oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 yang terkait dengan impor tekstil. Peraturan ini dianggap menjadi pemicu utama gelombang PHK di industri tekstil.
Tantangan Daya Saing
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai bahwa daya saing industri tekstil Indonesia terus menurun. Banyak perusahaan tekstil global yang merelokasi pabrik mereka ke negara lain seperti Vietnam, Bangladesh, dan bahkan Ethiopia. Alasan utama mereka adalah biaya produksi yang relatif lebih tinggi di Indonesia, termasuk biaya logistik.
Bhima juga menyoroti kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap industri tekstil. Ia menyebut bahwa kebijakan pemerintah cenderung tidak konsisten dan sering kali berpindah-pindah fokus. Misalnya, dorongan terhadap industrialisasi di sektor pakaian jadi dan alas kaki belum selesai, namun sudah beralih ke hilirisasi nikel. Ketidakfokusan ini membuat industri manufaktur, termasuk tekstil, kekurangan stimulus dan insentif dari pemerintah.
Persaingan dengan Barang Impor
Industri tekstil domestik juga terdesak oleh barang-barang impor, baik yang masuk melalui jalur legal maupun ilegal. Barang impor yang dijual di ritel dan e-commerce sering kali jauh lebih murah dibandingkan produk lokal, sehingga merugikan pelaku usaha domestik. Bhima menambahkan bahwa insentif untuk menjadi importir atau reseller lebih besar dibandingkan menjadi produsen industri pengolahan.
Faktor Ekonomi Makro
Kondisi makro ekonomi seperti suku bunga yang tinggi dan daya beli masyarakat yang rendah juga turut mempengaruhi industri tekstil. Nilai tukar rupiah yang melemah membuat bahan baku impor menjadi lebih mahal, sehingga menambah beban biaya produksi.
Kesimpulan
Industri tekstil Indonesia menghadapi tantangan besar yang membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak, termasuk pemerintah. Diperlukan kebijakan yang konsisten dan terfokus untuk mendukung industri ini agar dapat bersaing di pasar global. Selain itu, perlindungan terhadap pelaku usaha domestik dari gempuran barang impor juga harus ditingkatkan. Hanya dengan langkah-langkah ini, industri tekstil Indonesia dapat kembali bangkit dan memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional.