Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia tengah menghadapi tantangan yang signifikan, terutama di semester kedua tahun ini. Di tengah persaingan yang semakin ketat dengan produk TPT impor, banyak perusahaan konveksi yang mengalami penurunan utilitas mesin hingga menyentuh angka 30%. Kondisi ini menambah tekanan pada industri yang sudah terpukul oleh gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran.
Nandi Herdiaman, Ketua Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung (IPKB), mengungkapkan bahwa banyak pengusaha konveksi di kawasan Bandung Raya terpaksa menghentikan produksi hingga 70%. "Dari kami itu sudah stop produksi 70 persen, berarti tinggal 30 persen mesin yang aktif," ujar Nandi. Hal ini menandakan penurunan drastis dalam aktivitas produksi yang berdampak langsung pada pengurangan tenaga kerja.
PHK besar-besaran tak terhindarkan. Menurut Nandi, ratusan ribu pekerja di sektor konveksi kehilangan pekerjaan akibat situasi ini. "Yang tercatat di kami saja ada 8.000 konveksi, jika kita ambil sedikitnya 10 mesin per konveksi yang tidak berproduksi, dengan masing-masing memiliki 10-15 karyawan, itu sudah berapa ratus ribu pekerja yang di-PHK," tambahnya.
Melihat kondisi industri yang semakin memburuk, Nandi menekankan pentingnya dukungan pemerintah melalui regulasi yang memadai. Salah satu solusi yang diharapkan adalah penerbitan Undang-Undang (UU) Sandang. UU ini dianggap penting untuk melindungi industri dalam negeri dari gempuran produk impor dan mempermudah administrasi di sektor TPT.
"Sebenarnya dari RUU Sandang ini, menurut saya pribadi, untuk melindungi TPT dalam negeri memang harus ada," ujar Nandi. Selain itu, ia juga menyampaikan bahwa saat ini pengusaha TPT harus berurusan dengan banyak kementerian dan instansi, yang menambah beban administrasi.
Nandi pun mengusulkan kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk membentuk badan khusus yang mengurusi produk TPT. Hal ini diharapkan dapat mempermudah proses pengajuan dumping atau safeguard bagi para pengusaha. Namun, hingga saat ini, pembahasan RUU Sandang yang telah dimulai sejak 2023 masih belum menunjukkan perkembangan yang signifikan.
Dengan situasi yang semakin mendesak, para pelaku industri berharap agar pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk menyelamatkan industri TPT yang menjadi salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia.