Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia tengah menghadapi masa sulit. Menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), hingga Agustus 2024, sekitar 40.000 pekerja di sektor ini telah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun, jumlah riil pekerja yang terdampak kemungkinan lebih besar, mengingat banyak pekerja yang tidak tercatat, terutama mereka yang bekerja secara kontrak dan lepas.
Wakil Ketua Umum API, David Leonardi, menjelaskan bahwa tantangan industri TPT datang dari berbagai sisi, yang berkontribusi pada penurunan kinerja industri dan utilitas yang menurun. Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah maraknya impor tekstil ilegal yang tidak sepenuhnya terkendali karena kode Harmonized System (HS) yang tidak memadai. Selain itu, masalah lain yang dihadapi adalah tidak tersedianya infrastruktur gas ke pusat industri tekstil di wilayah Bandung Raya dan Solo Raya, serta meningkatnya beban upah tenaga kerja dan regulasi terkait limbah yang semakin ketat.
David mengungkapkan bahwa semua tantangan ini, ditambah dengan kondisi ekonomi nasional yang belum sepenuhnya pulih, membuat utilisasi industri TPT menurun. Akibatnya, perusahaan terpaksa melakukan rasionalisasi jumlah tenaga kerja. Ia juga memperkirakan jumlah pekerja yang terkena PHK akan terus bertambah jika tidak ada langkah penanganan yang tepat.
Penutupan Pabrik Tekstil dan Dampaknya
Seiring dengan semakin memburuknya kondisi industri tekstil, beberapa pabrik besar telah menutup operasinya. Di antaranya adalah PT Pandanarum Kenanga Textile (Panamtex) yang tutup pada September 2024, PT Cahaya Timur Garmindo (CTG) yang berhenti beroperasi pada Maret 2024, dan PT Sampangan Duta Panca Sakti Tekstil (Dupantex) yang menghentikan operasinya sejak Juni 2024. Penutupan pabrik-pabrik ini menjadi bukti nyata betapa terpuruknya sektor TPT Indonesia saat ini.
David juga mencatat bahwa sektor manufaktur Indonesia secara keseluruhan masih dalam kondisi lesu. Purchasing Manager’s Index (PMI) untuk manufaktur Indonesia tercatat berada di bawah level 50, yang menandakan kontraksi. Pada September 2024, PMI berada di level 49,2, sedikit meningkat dari bulan sebelumnya, namun masih menunjukkan tren kontraksi yang telah berlangsung selama tiga bulan berturut-turut.
Pentingnya Perlindungan Pasar Domestik
Untuk mengatasi tantangan ini, David menekankan pentingnya peran pemerintah dalam melindungi industri lokal dari serbuan barang impor. Menurutnya, impor barang dalam jumlah besar dengan harga di bawah biaya produksi lokal terjadi akibat relaksasi kebijakan impor yang tidak konsisten. Kondisi ini membuat barang-barang impor masuk ke pasar Indonesia dalam jumlah yang masif, mengancam keberlangsungan industri TPT lokal.
David mengusulkan agar pemerintah menerapkan kebijakan yang pro-industri lokal dan bersifat proteksionis untuk meningkatkan kembali daya saing manufaktur domestik. Konsistensi kebijakan sangat diperlukan untuk melindungi pasar dalam negeri dan mendorong industri TPT untuk kembali ekspansif, yang pada akhirnya akan memperbaiki indeks PMI manufaktur.
Kerja Sama untuk Solusi
Selain itu, David juga menyerukan perlunya kerja sama antara pemangku kepentingan, baik dari pemerintah maupun lembaga terkait, untuk mencapai visi dan misi yang sama dalam melindungi pasar domestik serta meningkatkan aktivitas industri dalam negeri. Dengan langkah-langkah yang terkoordinasi, diharapkan industri tekstil Indonesia dapat keluar dari krisis yang tengah dihadapi dan kembali berkembang.
Industri tekstil Indonesia sedang berada di bawah tekanan besar akibat berbagai tantangan internal dan eksternal, termasuk impor ilegal, infrastruktur yang tidak memadai, serta regulasi yang ketat. Penurunan kinerja industri ini berdampak langsung pada ribuan pekerja yang terkena PHK. Untuk mengatasi situasi ini, diperlukan kebijakan yang konsisten dan kolaboratif antara pemerintah dan pemangku kepentingan guna melindungi pasar domestik dan mendukung pertumbuhan industri tekstil yang lebih kompetitif.