Industri tekstil di Indonesia tengah menghadapi masa-masa sulit, dengan tanda-tanda krisis yang telah terlihat sejak lama. Pukulan telak baru-baru ini datang ketika PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu raksasa tekstil se-Asia Tenggara, dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga Semarang pada Oktober 2024. Kejatuhan Sritex menambah daftar panjang pabrik tekstil yang tutup selama beberapa tahun terakhir.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, masalah ini bukan hal baru. Selama dua tahun terakhir, lebih dari 30 perusahaan tekstil telah gulung tikar, memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berdampak pada sekitar 150.000 pekerja.

“Industri tekstil sejak dua tahun terakhir sudah menunjukkan tanda-tanda kesulitan. Waktu itu, kami merilis data bahwa ada sekitar 30 perusahaan yang sudah berhenti beroperasi,” ungkap Redma dalam Podcast di channel YouTube Akbar Faizal pada Selasa (5/10/2024).

Dampak Covid-19 dan Faktor Global
Krisis di sektor tekstil sebenarnya telah berlangsung sejak pandemi Covid-19 pada 2020-2021, ketika industri mengalami kontraksi besar. Sempat terjadi pemulihan pada kuartal pertama dan kedua 2022 dengan pertumbuhan mencapai 12%. Namun, kejadian-kejadian global seperti perang Rusia-Ukraina dan kebijakan ketat Covid-19 di China kembali mengguncang industri.

Pada kuartal ketiga 2022, saat pelabuhan di China mulai beroperasi kembali, volume barang yang keluar meningkat pesat dan memicu gelombang PHK. Tren PHK ini terus berlanjut sepanjang tahun 2023. Redma menjelaskan bahwa PHK bisa mencapai ratusan hingga ribuan karyawan per perusahaan setiap bulannya.

Tahun 2024: Puncak Penutupan Pabrik
Tahun 2024 menyaksikan perubahan tren dari PHK massal menjadi penutupan pabrik secara keseluruhan. Banyak pengusaha tekstil tidak lagi mampu mempertahankan operasional mereka akibat arus kas yang menipis. Pabrik-pabrik kelas menengah, yang sebelumnya masih bertahan secara bertahap, akhirnya terpaksa tutup.

“Mereka sudah tidak bisa hidup lagi karena cash flow sudah habis. Kalau perusahaan kecil dan menengah, sudah banyak yang tutup, sementara perusahaan menengah mengalami penutupan bertahap,” ujar Redma.

Kasus Sritex: Dilema Arus Kas dan Utang
Kondisi Sritex, yang selama ini dikenal sebagai perusahaan besar dengan arus kas kuat, memperlihatkan tantangan berat yang dihadapi industri. Meski memiliki akses mudah ke permodalan dari bank, perusahaan ini tetap tidak mampu mempertahankan performa pendapatan yang memadai. Pada 2023, pendapatan ekspor Sritex merosot menjadi US$158,66 juta dari US$257,85 juta, sementara penjualan domestiknya menurun menjadi US$166,42 juta dari US$266,71 juta.

Masalah semakin parah dengan beban utang yang kian membengkak. Pada semester I-2024, liabilitas Sritex mencapai US$1,6 miliar (sekitar Rp25,01 triliun), dengan defisiensi modal tercatat sebesar -US$980,56 juta. Utang bank mendominasi liabilitas jangka panjang perusahaan dengan jumlah mencapai US$809,99 juta (sekitar Rp12,66 triliun), tersebar di 28 bank yang memberikan kredit jangka panjang.

Kondisi industri tekstil di Indonesia semakin menunjukkan tanda-tanda kritis yang memerlukan penanganan cepat dan strategis. Kasus Sritex menjadi contoh nyata bagaimana faktor internal dan eksternal dapat memukul sektor yang seharusnya menjadi andalan ekonomi nasional. Penutupan pabrik dan PHK massal menggambarkan urgensi untuk memperkuat daya saing industri serta menciptakan kebijakan yang mendukung keberlangsungan industri di tengah tantangan global.