Industri tekstil Indonesia, yang selama ini menjadi sektor strategis dan padat karya, menghadapi tantangan besar akibat maraknya impor ilegal. Kondisi ini tidak hanya melemahkan keberlanjutan industri dalam negeri tetapi juga berkontribusi pada meningkatnya angka pengangguran dan melemahnya daya beli masyarakat.
Banjir Impor Ilegal Menghantam Tekstil Lokal
Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, mengkritisi lemahnya pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terkait masuknya puluhan ribu kontainer tekstil ilegal dari Tiongkok. Berdasarkan data Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), dalam lima tahun terakhir terdapat sekitar 72.250 kontainer impor tekstil dan produk tekstil (TPT) ilegal yang masuk ke Indonesia. Akibatnya, negara dirugikan hingga Rp46 triliun.
Tidak hanya itu, kasus pailitnya PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, menjadi bukti nyata dampak buruk dari serbuan impor ilegal. Selain kerugian finansial, lonjakan impor ilegal juga memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat hampir 60 ribu pekerja kehilangan pekerjaan sepanjang Januari hingga Oktober 2024, dengan DKI Jakarta sebagai provinsi dengan PHK tertinggi.
Kebijakan dan Pengawasan yang Lemah
Cucun menyoroti ketidakseimbangan pengawasan antara barang bawaan warga negara Indonesia yang tiba dari luar negeri dengan arus barang impor ilegal. Selain Bea Cukai, Kementerian Perdagangan juga dinilai kurang tanggap terhadap fenomena ini. Lemahnya penegakan hukum atas impor ilegal mengancam target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8%.
Cucun mendorong revisi terhadap Permendag No. 8/2024, yang dinilai menjadi salah satu pemicu banjirnya produk impor murah. Ia menegaskan bahwa industri tekstil adalah sektor vital yang menyerap hampir 4 juta tenaga kerja dan memiliki kontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB).
Upaya Penguatan Produk Lokal dan UMKM
Wakil Menteri UMKM, Helvi Yuni Moraza, menekankan pentingnya meninjau ulang pajak masuk barang impor untuk meningkatkan daya saing produk lokal. Barang impor yang sering kali lebih murah menjadi pilihan masyarakat, menggeser produk dalam negeri, termasuk yang dihasilkan oleh UMKM.
Helvi juga menyebutkan bahwa pemerintah tengah memperkuat sektor UMKM melalui berbagai langkah, seperti:
Akses Permodalan: Peluncuran skema pembiayaan LPDB UMKM.
Penurunan Suku Bunga: Melobi perbankan untuk memberikan suku bunga rendah bagi pelaku UMKM.
Penguatan Daya Saing: Mendorong UMKM untuk mengembangkan loyalitas, integritas, disiplin, dan inovasi.
Di sisi lain, dinas-dinas daerah diminta menginventarisasi UMKM sesuai klaster, seperti pertanian, fashion, makanan, dan ekonomi kreatif, untuk memberikan dukungan yang spesifik.
Peran Masyarakat dan Kerja Sama Multi-Pihak
Helvi menggarisbawahi pentingnya konsumsi produk lokal oleh masyarakat. “Mutu produk dalam negeri tidak kalah dengan produk impor. Namun, preferensi masyarakat yang lebih memilih barang impor menjadi tantangan besar,” ujarnya.
Dengan arahan Presiden Prabowo, pemerintah terus berupaya melayani kebutuhan masyarakat, terutama melalui penguatan sektor UMKM sebagai tulang punggung ekonomi. Namun, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat menjadi kunci untuk melawan derasnya arus barang impor ilegal dan memperkuat posisi produk dalam negeri.
Maraknya impor ilegal telah membawa dampak besar bagi industri tekstil Indonesia, mulai dari kerugian ekonomi hingga ancaman pengangguran. Solusi mendesak, seperti penguatan pengawasan, penegakan hukum, dan kebijakan yang mendukung produk lokal, menjadi langkah yang harus segera diambil untuk melindungi sektor strategis ini. Dengan kerja sama semua pihak, industri tekstil Indonesia diharapkan mampu bangkit dan bersaing di pasar global.