Industri tekstil Indonesia kini berada di ujung tanduk. Setelah mengalami kemunduran signifikan selama tiga tahun terakhir, sektor ini kembali tertekan dengan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Kebijakan ini diprediksi memperburuk kondisi yang sudah memprihatinkan.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Danang Girindrawardana, mengungkapkan bahwa sektor tekstil dan garmen telah kehilangan hingga 200.000 tenaga kerja dalam tiga tahun terakhir akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Angka tersebut termasuk tambahan 38.000 pekerja yang kehilangan pekerjaan sepanjang 2024. Menurut Danang, angka ini mencerminkan krisis mendalam yang seharusnya mendapat perhatian serius dari pemerintah.

“Kami sudah menggelar rapat dengan seluruh pengusaha tekstil dan garmen anggota API. Mereka sepakat bahwa kebijakan ini datang di waktu yang sangat tidak tepat,” ujar Danang dalam diskusi Investor Market pada Kamis (5/12/2024).

Pemerintah, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), memastikan kenaikan PPN sebesar 12% tetap diberlakukan. Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, menyatakan bahwa kenaikan PPN hanya membebani konsumen barang mewah, sementara masyarakat kecil tetap dikenai tarif yang berlaku saat ini. Pernyataan ini, meski bertujuan untuk meredakan kekhawatiran, tidak sepenuhnya menjawab dampak yang dirasakan industri padat karya seperti tekstil.

Ancaman untuk Industri Padat Karya
Industri tekstil merupakan sektor strategis yang menyerap jutaan tenaga kerja dan menopang ekspor nasional. Namun, dengan naiknya PPN, pengusaha tekstil menghadapi tantangan berat untuk tetap kompetitif di pasar global. Dalam kondisi ekonomi yang sedang berjuang pulih pasca-pandemi, beban pajak tambahan ini bisa memicu gelombang PHK yang lebih besar pada tahun 2025.

“Dampaknya akan terasa sangat berat bagi kami yang berada di industri ini,” tambah Danang. Ia juga menekankan perlunya evaluasi terhadap kebijakan tersebut agar tidak semakin membebani sektor yang sudah terpuruk.

Harapan untuk Solusi Bersama
Melihat situasi ini, pelaku industri berharap pemerintah dapat menunda atau memberikan insentif pajak untuk membantu sektor tekstil bertahan. Selain itu, dukungan berupa kebijakan yang mendorong daya saing, seperti subsidi energi dan kemudahan ekspor, sangat diperlukan.

Dengan adanya kebijakan yang lebih berpihak pada pelaku usaha, diharapkan industri tekstil Indonesia mampu bangkit kembali dan mengembalikan posisinya sebagai salah satu penggerak utama perekonomian nasional. Tanpa langkah konkret, bayangan keruntuhan sektor ini akan semakin nyata, meninggalkan dampak besar bagi pekerja, pengusaha, dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan.