Setiap menjelang Lebaran, industri tekstil nasional menghadapi tantangan besar akibat membanjirnya produk impor yang menguasai pasar domestik. Hal ini menyebabkan banyak pelaku usaha dalam negeri gigit jari, tidak mampu memanfaatkan momentum peningkatan permintaan.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menyoroti persoalan ini sebagai salah satu penyebab tertekannya industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional. “Setiap menjelang Lebaran, ribuan kontainer berisi kain dan produk garmen impor masuk ke pasar domestik,” ujar Redma dalam pernyataannya, Senin, 25 Maret 2019.

Dominasi Produk Impor
Dalam lima tahun terakhir, industri TPT dalam negeri tidak mampu bersaing dengan produk impor, terutama pada momen Lebaran. Situasi ini semakin parah sejak pemerintah membebaskan seluruh impor TPT melalui Pusat Logistik Berikat (PLB). Redma mengingatkan bahwa momentum terakhir ketika industri lokal menikmati peningkatan permintaan terjadi pada pertengahan 2017. Saat itu, pemerintah berhasil menertibkan impor borongan. Namun, kondisi ini hanya bertahan selama enam bulan.

Dominasi produk impor tidak hanya berdampak pada penurunan penjualan produk lokal tetapi juga mengancam kemampuan pengusaha untuk memenuhi kewajiban kepada pekerja, termasuk pembayaran tunjangan hari raya (THR). “Kalau tidak bisa jualan, pengusaha dapat uang dari mana untuk bayar THR?” tegas Redma.

Langkah Tegas Pemerintah
APSyFI meminta pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan, untuk segera mengambil langkah tegas dalam mengendalikan impor. Redma menekankan pentingnya memperhatikan kepentingan industri lokal yang selama ini terabaikan. Menurutnya, pengendalian impor adalah kunci untuk membalikkan tren defisit neraca perdagangan yang telah berlangsung selama dua tahun terakhir.

Presiden Joko Widodo juga diharapkan untuk turun tangan langsung mengatasi masalah ini. Redma percaya bahwa Presiden sudah mengetahui akar masalah defisit perdagangan, dan tindak lanjutnya dapat memberikan peluang bagi produk lokal untuk menguasai pasar domestik, khususnya saat Lebaran.

Potret Neraca Perdagangan Tekstil
Data dari Kementerian Perindustrian menunjukkan ekspor industri tekstil pada 2018 bernilai USD 4,651 miliar, turun tipis 0,1 persen dibandingkan 2017. Sebaliknya, impor produk tekstil pada 2018 meningkat 12,17 persen year-on-year menjadi USD 7,81 miliar, yang menyebabkan defisit neraca perdagangan tekstil.

Dengan adanya momentum Lebaran, pelaku industri berharap pemerintah dapat memastikan produk lokal lebih kompetitif di pasar domestik. Langkah ini tidak hanya akan membantu pemulihan industri TPT tetapi juga menjaga kesejahteraan tenaga kerja di sektor ini.

Industri tekstil nasional kini menanti keputusan pemerintah untuk memperkuat daya saing lokal di tengah derasnya arus impor. Momentum Lebaran diharapkan tidak lagi menjadi milik produk impor, tetapi menjadi momen kebangkitan produk dalam negeri.