Industri tekstil menjadi salah satu sektor yang mengalami tekanan sepanjang tahun 2024. Meskipun ada pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pada sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), tidak semua subsektor menunjukkan tren positif.
Plt Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Reni Yanita, menyebutkan bahwa dibandingkan kuartal yang sama pada tahun 2023, industri TPT mencatatkan pertumbuhan sebesar 3,32%. Peningkatan signifikan terjadi pada subsektor pakaian jadi dengan pertumbuhan 4,62%. Namun, subsektor tekstil seperti benang dan kain mengalami kontraksi.
Kontraksi tersebut, menurut Reni, dipengaruhi oleh keberadaan pabrik-pabrik pakaian jadi yang mayoritas berada di Kawasan Berikat. Hal ini membuat kebutuhan bahan baku mereka tidak terpenuhi dari pasar domestik, melainkan melalui impor.
Selain itu, keterlambatan penerapan kebijakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) untuk produk tekstil turut berkontribusi pada penutupan sejumlah pabrik tekstil. Akibatnya, bahan baku yang dibutuhkan untuk produksi lebih banyak dipenuhi dari luar negeri.
Reni mengungkapkan bahwa impor bahan baku ini menjadi salah satu penyebab utama turunnya kinerja industri tekstil. Meski demikian, Kemenperin tetap memberikan perhatian serius terhadap sektor ini, terutama karena peran pentingnya dalam penyerapan tenaga kerja.
Kontribusi sektor TPT terhadap penyerapan tenaga kerja mencapai 19,9% pada tahun 2024. Dengan adanya bonus demografi yang dimiliki Indonesia, Reni menekankan pentingnya menjaga keberlanjutan industri ini.
“Kita memiliki tenaga kerja yang sudah terampil di bidang tekstil. Sayang jika sumber daya ini tidak kita pertahankan,” ujar Reni.
Kemenperin terus berupaya meningkatkan kinerja industri tekstil agar tetap mampu berkontribusi terhadap perekonomian nasional sekaligus memanfaatkan potensi tenaga kerja yang ada di Indonesia.