Industri tekstil di Indonesia mendesak pemerintah untuk lebih serius dalam menangani impor ilegal yang selama ini menjadi faktor utama keterpurukan sektor tekstil dan produk tekstil (TPT). Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, mengungkapkan bahwa kurangnya keseriusan pemerintah dalam mengatasi peredaran barang impor ilegal telah menyebabkan puluhan pabrik tutup dan ratusan ribu pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

APSyFI meminta agar Kementerian dan Lembaga terkait, khususnya yang berada di bawah koordinasi bidang perekonomian, segera bertindak untuk memperbaiki situasi ini. Salah satu usulan APSyFI adalah penerapan pengawasan border terhadap aturan Label, SNI, dan K3L untuk barang impor. Pengawasan yang saat ini dilakukan melalui post border oleh Kementerian Perdagangan dinilai tidak efektif karena sulit mengawasi barang yang sudah beredar di pasar.

Menurut Redma, beban kerja tambahan yang akan dialami aparat Bea Cukai di pelabuhan harus diterima demi kepentingan nasional. Jika Bea Cukai tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik, ia mengusulkan agar lembaga tersebut dibekukan dan digantikan oleh surveyor dengan skema Pre-Shipment Inspection seperti yang diterapkan pada tahun 1985.

Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiawan, menyoroti buruknya kinerja Bea Cukai sebagai penyebab utama banjirnya barang impor ilegal di pasar domestik. Selain itu, lemahnya penegakan hukum juga turut memperburuk kondisi ini. Ia menyoroti bahwa sering kali penegakan hukum justru lebih ketat terhadap produsen dalam negeri, sementara distributor dan pedagang barang impor ilegal jarang ditindak.

Nandi menyebutkan bahwa ketidakadilan dalam penegakan hukum ini menjadikan Indonesia sebagai tempat yang nyaman bagi barang impor ilegal. Produsen dalam negeri harus membayar berbagai pajak seperti PPN bahan baku dan PPN penjualan, sedangkan barang impor ilegal bisa dijual tanpa PPN, yang menunjukkan adanya pembiaran oleh aparat dan birokrasi.

Direktur Eksekutif Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI), Ardiman Pribadi, menekankan pentingnya penegakan aturan kewajiban pencantuman label berbahasa Indonesia serta Standar Nasional Indonesia (SNI). Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2021 mewajibkan semua jenis pakaian dan kain yang beredar untuk mencantumkan label berbahasa Indonesia, tetapi aturan ini belum ditegakkan dengan baik sejak pertama kali diperkenalkan pada 2015.

Berdasarkan pantauan YKTI, hanya sekitar 30% barang di pasar yang memenuhi aturan label berbahasa Indonesia. Pelanggaran tertinggi ditemukan di pasar online, di mana 90% barang tidak mencantumkan label berbahasa Indonesia, melainkan dalam bahasa Inggris, China, Thailand, Korea, atau Jepang. Hal ini membuat konsumen kesulitan mendapatkan informasi yang jelas mengenai produk yang mereka beli.

YKTI juga meminta perhatian khusus terhadap SNI wajib untuk pakaian bayi, yang berkaitan langsung dengan kesehatan dan tumbuh kembang anak. Sayangnya, penegakan hukum terkait SNI pakaian bayi dinilai sangat lemah, bahkan produk yang secara terang-terangan dijual secara online tanpa SNI tidak mendapatkan tindakan dari pemerintah.

Desakan dari industri tekstil dan organisasi konsumen ini menunjukkan betapa mendesaknya langkah nyata dari pemerintah untuk menangani impor ilegal. Tanpa ketegasan dan kebijakan yang jelas, industri tekstil nasional akan semakin terpuruk, sementara barang-barang impor ilegal terus menguasai pasar tanpa hambatan.