Industri tekstil nasional, khususnya di sektor hulu, tengah menghadapi tantangan besar akibat ketidakseimbangan kebijakan impor bahan baku chip untuk produksi benang poliester dan serat sintetis. Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio, mengungkapkan bahwa perbedaan kepentingan dalam kebijakan ini tidak hanya menyulitkan pelaku industri dalam menjual produknya di pasar domestik, tetapi juga memicu perpecahan di antara asosiasi industri seperti Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI).
Sebagian pelaku industri mendukung kebijakan anti-dumping guna membatasi impor dan mendorong pertumbuhan industri lokal, sementara pihak lain khawatir bahwa proteksi yang berlebihan justru akan menyebabkan kelangkaan bahan baku, yang pada akhirnya menghambat sektor hilir. Kondisi ini bahkan mendorong beberapa produsen besar menghentikan produksi poliester dan beralih ke impor bahan baku. Beberapa perusahaan yang sebelumnya beroperasi penuh dalam rantai produksi dari bahan mentah hingga produk jadi kini lebih memilih membeli chip impor ketimbang memproduksi sendiri.
Menurut Andry, situasi ini terjadi karena lemahnya kebijakan importasi yang tidak dikendalikan secara optimal. Ia menilai bahwa ketidakpastian regulasi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir telah memperparah dilema industri. Jika impor dibiarkan tanpa proteksi, maka produsen lokal semakin terpinggirkan. Namun, jika impor dibatasi, pasokan bahan baku dalam negeri menjadi terganggu akibat banyaknya pabrik yang berhenti berproduksi. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih seimbang agar industri tekstil nasional dapat bertahan dan berkembang di tengah persaingan global.