Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional semakin terpuruk akibat derasnya arus impor. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penutupan pabrik terus berlanjut, dengan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) menjadi salah satu korban terbaru. Perusahaan ini resmi menghentikan operasionalnya, menambah daftar lebih dari 60 pabrik yang sudah gulung tikar.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menilai bahwa pemerintah memiliki andil besar dalam kondisi ini. Dalam dua tahun terakhir, sektor TPT harus menghadapi tekanan dari masuknya produk impor, baik legal maupun ilegal, tanpa perlindungan yang memadai. Menurutnya, solusi utama sudah jelas: mengendalikan impor legal dan memberantas praktik impor ilegal. Namun, realitasnya impor terus dibiarkan membanjiri pasar tanpa penegakan hukum yang tegas terhadap bea cukai.
Perubahan kebijakan juga menjadi sorotan. Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 36 Tahun 2023, yang bertujuan menekan laju impor, hanya bertahan tiga bulan sebelum dilonggarkan melalui Permendag 8 Tahun 2024. Kebijakan ini dinilai semakin memperparah kondisi industri dalam negeri.
Dampak kebijakan pro impor ini tidak hanya dirasakan oleh perusahaan besar, tetapi juga industri kecil dan menengah (IKM). Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman, mengungkapkan bahwa lebih dari 1.000 unit usaha kecil telah tutup, menyebabkan ratusan ribu pekerja kehilangan mata pencaharian. Lemahnya pengawasan bea cukai juga dituding memperburuk situasi, terutama dengan maraknya praktik impor borongan yang merugikan negara dari sisi pajak dan bea masuk.
Selain itu, permasalahan ini dikaitkan dengan adanya praktik korupsi di birokrasi yang lebih berpihak pada impor. Reformasi birokrasi dinilai perlu dimulai dari Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kementerian Keuangan yang disebut sebagai penghambat utama pengendalian impor. Direktur Eksekutif Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Rayon Tekstil, Agus Riyanto, bahkan mengusulkan pembekuan Bea Cukai dan menggantinya dengan sistem Pre-shipment Inspection (PSI), seperti yang pernah diterapkan pada era Orde Baru, sebagai solusi untuk memberantas praktik impor ilegal.
Jika tidak ada langkah konkret dari pemerintah, industri manufaktur, khususnya TPT, diprediksi akan semakin terpuruk. Krisis ini menjadi cerminan ironi kebijakan yang justru merugikan industri dalam negeri dan mengancam mata pencaharian ratusan ribu pekerja.