Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara, Ristadi, mengingatkan pemerintah agar tidak hanya memberikan perhatian khusus pada kepailitan dan pemutusan hubungan kerja (PHK) di PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang resmi tutup per 1 Maret 2025. Menurutnya, masih banyak perusahaan tekstil lain yang mengalami nasib serupa dengan Sritex dan menghadapi gelombang PHK yang signifikan.
Sebagai Wakil Ketua Gerakan Solidaritas Nasional, Ristadi menilai bahwa kasus Sritex seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk melihat persoalan industri tekstil secara lebih luas. Ia menegaskan bahwa banyak perusahaan lain yang juga terdampak dan bahwa kondisi industri tekstil saat ini sedang tidak baik-baik saja.
Selain itu, Ristadi mendorong pemerintah serta Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan pemetaan ulang terhadap perusahaan tekstil dan sektor lain yang mengalami kesulitan hingga terjadi PHK massal. Menurutnya, seluruh pekerja yang terdampak PHK harus mendapatkan perhatian yang sama tanpa ada perlakuan istimewa terhadap satu perusahaan tertentu. Ia menekankan bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan perlindungan dari pemerintah dan DPR.
Langkah pemetaan ini dinilai penting untuk memastikan hak-hak pekerja yang terkena PHK tetap terjamin. Pemerintah juga diharapkan dapat mencari solusi agar angkatan kerja yang menganggur bisa terserap kembali dalam industri lain yang masih berkembang. Ristadi menegaskan bahwa strategi yang tepat harus segera disusun agar tenaga kerja dapat kembali memperoleh pekerjaan.
Menanggapi hal ini, anggota Komisi IX DPR, Alifudin, juga meminta pemerintah untuk turun tangan dalam memastikan hak-hak pekerja yang terdampak PHK tetap terpenuhi. Menurutnya, gelombang penutupan pabrik yang berimbas pada PHK puluhan ribu pekerja harus menjadi perhatian serius karena tidak hanya berdampak pada individu yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga pada ekonomi lokal dan nasional secara keseluruhan.
Alifudin menambahkan bahwa PHK massal yang terjadi sejak November 2024 telah berdampak pada kesejahteraan masyarakat, terutama keluarga yang menggantungkan pendapatan dari sektor industri ini. Beberapa perusahaan yang dilaporkan telah menghentikan operasinya termasuk PT Sanken Indonesia, PT Yamaha Music Product Asia, PT Tokai Kagu, PT Danbi International Garut, PT Bapintri, serta Sritex. Akibatnya, puluhan ribu pekerja kehilangan mata pencaharian mereka.
Data menunjukkan bahwa setidaknya delapan industri telah melakukan PHK besar-besaran, termasuk PT Asia Pacific Fibers Tbk yang mem-PHK 2.500 karyawan, PT Bapintri yang merumahkan 267 karyawan, PT Sanken Indonesia dengan 459 karyawan terkena PHK, serta PT Danbi International yang melepas 2.079 pekerja. Selain itu, Yamaha Music Indonesia mem-PHK 400 karyawan dan PT Tokai Kagu Indonesia merumahkan 195 karyawan.
Sementara itu, Wakil Menteri Perindustrian, Faisol Riza, menanggapi fenomena PHK ini dengan menyatakan bahwa pemerintah tidak melihatnya sebagai krisis besar, melainkan sebagai dampak dari berbagai faktor, termasuk mismanajemen perusahaan dan penurunan permintaan ekspor. Faisol menjelaskan bahwa pergeseran ekonomi global turut mempengaruhi sektor industri dalam negeri, sehingga menyebabkan kontraksi di beberapa sektor, sementara sektor lainnya mengalami pertumbuhan.
Menurutnya, situasi ini merupakan bagian dari perubahan pola ekonomi global yang berimbas pada berbagai industri di seluruh dunia. Oleh karena itu, pemerintah dan pelaku industri diharapkan dapat beradaptasi dengan dinamika yang ada agar dapat mempertahankan stabilitas sektor industri dan ketenagakerjaan di Indonesia.