Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan neraca perdagangan dengan Amerika Serikat (AS) setelah keputusan penundaan penerapan tarif resiprokal selama 90 hari. Ketidakpastian dari hasil negosiasi antara Indonesia dan AS memicu kekhawatiran pelaku industri terhadap potensi penerapan tarif sebesar 32% untuk produk asal Indonesia.

Ketua Umum APSyFI, Redma G. Wirawasta, menilai masa penundaan selama tiga bulan ke depan bisa menjadi peluang penting bagi pemerintah untuk mengupayakan perubahan kebijakan tarif melalui jalur diplomasi. Namun ia menekankan perlunya proses negosiasi yang normal dan berkelanjutan demi menjaga defisit perdagangan AS terhadap Indonesia tetap terkendali. Redma menyebut bahwa diskusi terkait tarif juga mencakup evaluasi ulang terhadap nilai ekspor yang ditengarai terindikasi sebagai hasil transhipment.

Lebih lanjut, Redma menyatakan bahwa pemerintah Indonesia dapat berkomitmen untuk meningkatkan impor dari AS serta melakukan perbaikan kebijakan sebagai langkah kompromi. Usulan evaluasi rutin setiap tiga bulan disebut menjadi opsi yang layak untuk memantau perubahan defisit perdagangan antara kedua negara. Selain itu, strategi negosiasi lain yang tengah dibahas adalah usulan penggunaan minimal 20% komponen lokal asal AS dalam produk ekspor, termasuk revisi cara penghitungan kandungan konten AS.

Berdasarkan data perdagangan Januari hingga Februari 2025, Indonesia membukukan surplus sebesar US$3,14 miliar terhadap AS. Surplus tersebut didominasi oleh ekspor pakaian dan aksesoris rajutan (HS 61) senilai US$433,3 juta dan alas kaki (HS 64) senilai US$407,7 juta. Komoditas pakaian rajutan menempati posisi kedua dalam daftar produk ekspor utama Indonesia ke pasar AS.

Namun di sisi lain, kekhawatiran tetap menghantui industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa, memperingatkan bahwa pelaku usaha harus siap menghadapi penurunan permintaan dari pembeli asal Amerika yang bisa mencapai 30% jika tarif diberlakukan. Jemmy menyebut bahwa hanya dalam dua hari setelah pengumuman tarif, sejumlah pelaku usaha telah menerima pemberitahuan dari brand internasional untuk menunda produksi dan pengiriman barang, bahkan disertai permintaan diskon hingga 15%.

Kondisi ini menunjukkan bahwa industri tekstil Indonesia sangat rentan terhadap kebijakan dagang global dan memerlukan dukungan penuh dari pemerintah dalam menjaga daya saing serta kestabilan ekspor nasional di tengah dinamika ekonomi internasional.