Masalah premanisme yang marak terjadi di kawasan industri dinilai dapat diatasi jika pemerintah serius mendorong pertumbuhan sektor tekstil dan produk tekstil (TPT). Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menilai bahwa akar persoalan premanisme adalah minimnya lapangan kerja, sehingga masyarakat mudah terjerumus ke dalam kegiatan yang merugikan dunia usaha.

Wakil Ketua Umum API, Ian Syarif, menyebut bahwa pengembangan industri tekstil memiliki potensi besar untuk menyerap jutaan tenaga kerja baru. Saat ini, sektor ini sudah menampung sekitar 3,3 juta pekerja, dan angkanya bisa ditingkatkan menjadi 7 juta jika ada keberpihakan dari pemerintah. Menurut Ian, sektor tekstil sangat cocok dengan profil tenaga kerja Indonesia yang mayoritas hanya menempuh pendidikan hingga tingkat SMA atau SMK.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa dari total 7,46 juta pengangguran per Agustus 2024, sebanyak 4,13 juta atau 55,36% di antaranya hanya berpendidikan sampai SMA/SMK. Ian menegaskan bahwa industri tekstil merupakan satu-satunya sektor yang mampu mengakomodasi kelompok ini secara luas. Ia bahkan menyebut bahwa industri tekstil mendukung kebijakan Makan Bergizi Gratis karena sebagian perusahaan sudah menyediakan makan siang bagi karyawannya.

Ian juga menyoroti kesuksesan Vietnam dalam membangun sektor tekstil yang berhasil menyerap 9 juta tenaga kerja, meskipun pasar domestiknya jauh lebih kecil dari Indonesia. Menurutnya, Indonesia memiliki peluang serupa, apalagi pernah mengalami masa keemasan industri tekstil pada era Orde Baru, di mana gaji buruh tekstil 15% lebih tinggi dari upah minimum. Situasi seperti itu, kata Ian, membuat masyarakat lebih memilih bekerja secara formal ketimbang bergabung dengan organisasi masyarakat (ormas) atau melakukan praktik premanisme.

Permasalahan premanisme di kawasan industri pun tidak lagi hanya dilakukan oleh preman jalanan. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam, mengungkapkan bahwa aksi-aksi intimidatif juga dilakukan oleh oknum ormas dan bahkan sebagian aparat pemerintah daerah. Ia menyebut bentuk premanisme kini lebih sistematis dan terorganisir, dengan aksi-aksi yang dilakukan secara terjadwal dan mengganggu jalannya produksi maupun distribusi, khususnya saat perusahaan mengalami kesulitan dalam memenuhi hak-hak pekerja seperti Tunjangan Hari Raya (THR).

Bob menambahkan bahwa kerugian yang dialami pengusaha tidak selalu berupa kerugian finansial langsung, tetapi juga dalam bentuk gangguan terhadap kelancaran proses bisnis. Misalnya, akses pabrik yang ditutup secara paksa untuk memberikan tekanan kepada pengusaha. Oleh karena itu, baik API maupun Apindo mendorong pemerintah agar lebih aktif menciptakan iklim usaha yang sehat dan aman, salah satunya dengan mempercepat industrialisasi sektor padat karya seperti tekstil dan menindak tegas para pelaku premanisme yang menghambat roda ekonomi.