Rencana penghapusan kuota impor menuai kekhawatiran dari pelaku industri tekstil dalam negeri. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ian Syarif, menyampaikan bahwa langkah ini bisa menimbulkan dampak negatif, termasuk kemungkinan munculnya praktik monopoli yang merugikan pasar.
Dalam wawancaranya dengan RRI Pro 3 pada Selasa (22/4/2025), Ian menjelaskan bahwa industri tekstil di Indonesia selama ini tidak menerapkan sistem kuota secara eksplisit, melainkan berjalan mengikuti mekanisme supply dan demand. Oleh karena itu, menurutnya, pendekatan yang lebih tepat adalah melalui pengaturan tarif, bukan dengan membuka keran impor tanpa batasan.
Ia juga menyoroti bahwa dalam situasi perang tarif global, Indonesia justru bisa mengambil peluang untuk memperkuat daya saing ekspornya. Namun, hal ini hanya bisa terjadi jika industri nasional mendapat perlindungan dan dukungan yang memadai dari pemerintah. "Industri kita perlu ditopang supaya ada penambahan tenaga kerja," ujarnya.
Produk tekstil impor, terutama dari China dan Vietnam, disebut menjadi tantangan serius karena berpotensi menekan produksi lokal. Ian mengungkapkan kekhawatirannya bahwa jika impor tidak diawasi ketat, maka pasar domestik akan dibanjiri produk murah yang membuat produsen lokal kehilangan pesanan dan terpaksa menjual di bawah harga produksi.
Kondisi ini, lanjutnya, dapat berujung pada kehancuran industri tekstil dalam negeri jika tidak segera ditanggapi dengan langkah konkret. Oleh karena itu, API mendorong pemerintah untuk memperkuat regulasi serta memperketat pengawasan, baik di pelabuhan maupun sepanjang jalur distribusi. Kolaborasi erat antara pemerintah dan pelaku industri dianggap sangat penting dalam menjaga stabilitas dan keberlanjutan sektor tekstil nasional.