Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Indonesia berada di ambang krisis akibat wacana pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk benang jenis Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY). Padahal, kedua jenis benang tersebut merupakan bahan baku utama bagi industri tekstil berbasis poliester, yang masih sangat tergantung pada impor.

Ketua Komite Tetap Kebijakan dan Regulasi Industri KADIN, Veri Anggrijono, menyampaikan kekhawatiran bahwa wacana kenaikan BMAD ini akan memicu kebangkrutan massal di sektor TPT. Ia memperkirakan lebih dari 5.000 produsen tekstil lokal serta satu juta unit usaha kecil dan mikro yang bergerak di bidang ini berisiko gulung tikar jika kebijakan tersebut tetap diberlakukan.

Menurut Veri, kondisi industri TPT saat ini sudah sangat tertekan oleh membanjirnya produk tekstil impor yang lebih murah. Jika harga bahan baku dalam negeri ikut naik akibat BMAD, industri dalam negeri akan semakin tidak kompetitif. Ia menilai kebijakan BMAD justru akan mempercepat proses PHK massal karena pabrik tidak mampu menjual produk akhir dengan harga bersaing di pasar.

Dalam pernyataannya, Veri secara langsung memohon kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, untuk membatalkan rencana pengenaan BMAD atas produk POY dan DTY. Ia menegaskan bahwa ketersediaan benang tersebut di dalam negeri masih belum mencukupi, sehingga industri dalam negeri masih sangat membutuhkan pasokan dari luar negeri.

Veri menekankan bahwa benang merupakan komponen vital dalam seluruh proses produksi tekstil. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya menjamin ketersediaannya dengan kebijakan yang berpihak pada keberlangsungan industri, bukan malah memberatkan dengan pengenaan anti-dumping.

Jika BMAD diberlakukan, harga benang diperkirakan akan melonjak drastis, menyebabkan biaya produksi kain menjadi tidak kompetitif. Dalam kondisi ini, banyak pabrik tekstil diprediksi akan tutup, mengakibatkan badai pemutusan hubungan kerja (PHK) yang meluas di tengah upaya pemulihan ekonomi nasional.