Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) membantah anggapan bahwa rencana penerapan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk benang filamen sintetik asal Tiongkok akan menghancurkan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional. Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wirawasta, menilai kebijakan ini justru akan memberikan perlindungan bagi industri dalam negeri agar mampu bersaing secara adil dan sehat.

Redma menyatakan bahwa pengenaan BMAD atas produk partially oriented yarn (POY) dan drawn textured yarn (DTY) akan mendorong pemulihan industri lokal. Ia menegaskan bahwa kebijakan ini bukan penghalang, melainkan stimulus yang dapat mendorong substitusi impor hingga 140.000 ton, serta memungkinkan peningkatan produksi nasional hingga 200.000 ton, seiring dengan beroperasinya penuh tiga pabrikan dalam negeri. Ia juga menambahkan bahwa kebijakan ini tidak akan mengganggu ekspor karena tidak berlaku untuk perusahaan di kawasan berikat atau yang menggunakan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE).

Menurut Redma, saat ini industri benang nasional mengalami penurunan utilitas akibat praktik dumping dari produk impor asal Tiongkok. Empat perusahaan anggota APSyFI telah terdampak, satu di antaranya bahkan tutup permanen, satu tutup sementara, dan dua lainnya hanya beroperasi 40 persen dari kapasitas. Kondisi ini, kata Redma, dibuktikan dari hasil temuan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang mencerminkan situasi riil di lapangan.

Ia menjelaskan bahwa tiga dari empat perusahaan yang terdampak telah bersiap untuk mengaktifkan kembali seluruh lini produksinya, dan satu perusahaan asal Tiongkok akan berinvestasi membangun fasilitas produksi polyester di Indonesia. Namun, langkah ini masih menunggu kejelasan atas keputusan penerapan BMAD. Total investasi yang direncanakan mencapai 250 juta dolar AS. Dengan reaktivasi tersebut, pasokan POY diperkirakan cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Redma juga menyebut bahwa praktik anti-dumping merupakan kebijakan yang lazim di banyak negara, termasuk Vietnam yang baru-baru ini memberlakukan BMAD atas produk asal Tiongkok.

Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh Pengamat Politik dan Kebijakan Publik, Fernando Emas, yang menilai bahwa hasil penyelidikan dan rekomendasi KADI atas produk benang filamen dapat membebani industri tekstil nasional. Ia menyoroti besaran BMAD yang diusulkan, yaitu antara 5,12% hingga 42,3%, yang menurutnya terlalu tinggi dan dapat menimbulkan dampak negatif, terutama bagi sektor hulu yang bergantung pada bahan baku seperti POY.

Fernando mengungkapkan bahwa kebutuhan POY nasional mencapai 257,68 juta kilogram per tahun, sedangkan pasokan hanya 141,92 juta kilogram. Dengan selisih sekitar 115 juta kilogram, ia khawatir penerapan BMAD akan menghambat produksi dan memicu efek domino terhadap operasional perusahaan. Implikasinya termasuk potensi pemberhentian karyawan dan penurunan daya saing industri dalam negeri akibat lonjakan biaya produksi.

Menurutnya, sekitar 3 juta pekerja saat ini menggantungkan hidup pada industri TPT. Oleh karena itu, penerapan BMAD berisiko menimbulkan pemutusan hubungan kerja secara masif jika perusahaan tak lagi mampu mempertahankan produksi. Ia juga menyoroti bahwa efek lanjutan dari kebijakan ini bisa berdampak pada pendapatan negara dan kestabilan sektor industri secara keseluruhan.

Perbedaan pandangan antara pelaku industri hulu dan pengamat kebijakan menunjukkan kompleksitas persoalan yang dihadapi industri tekstil Indonesia. Di tengah upaya menjaga keberlangsungan industri nasional, pemerintah dituntut untuk menimbang secara cermat manfaat dan risiko dari kebijakan antidumping agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi mata rantai industri tekstil secara keseluruhan.