Industri tekstil Indonesia tengah bersiap untuk pulih secara berkelanjutan, dengan dorongan dari kebijakan yang mengutamakan daya tahan dan daya saing produsen dalam negeri. Ketua Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, mengusulkan kepada pemerintah agar menerapkan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) sebesar 20% terhadap benang filamen impor, terutama yang berasal dari Tiongkok. Menurutnya, langkah ini akan menciptakan iklim usaha yang lebih sehat dan kompetitif serta memulihkan keseimbangan rantai pasok tekstil nasional dari hulu hingga hilir.

“Usulan BMAD 20% ini bukan semata-mata untuk melindungi produsen hulu, tetapi demi menjamin keberlangsungan industri tekstil nasional secara menyeluruh. Ini adalah jalan tengah yang adil dan berkelanjutan,” ujar Redma dalam pernyataannya di Jakarta, Kamis (12 Juni 2025).

Redma menjelaskan bahwa praktik dumping oleh produsen asing telah menyebabkan harga jual di pasar domestik berada di bawah biaya produksi yang wajar, sehingga produsen lokal kesulitan bersaing secara sehat.

“BMAD 20% ini kami pandang sebagai solusi yang masih mempertimbangkan ketahanan sektor hilir, tanpa terlalu membebani pelaku usaha,” tambahnya.

Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) sebelumnya memang merekomendasikan tarif BMAD hingga 42,3%, namun APSyFI menilai angka tersebut terlalu tinggi dan dapat merugikan pelaku industri hilir.

“Kami ingin ekosistem industri yang harmonis. Jika tarif terlalu tinggi, bisa berdampak negatif ke sektor hilir. Karena itu kami mengusulkan tarif seimbang di angka 20%,” jelas Redma.

Kebijakan ini juga diharapkan dapat menghidupkan kembali lini produksi hulu seperti polimer, spun yarn, dan benang filamen yang selama ini tertekan akibat anjloknya permintaan dalam negeri. Beberapa produsen besar seperti Polichem, Polifyn, dan APF bahkan sudah menghentikan produksi polimer karena tidak mampu bersaing secara harga.

“Dengan kebijakan ini, kami berharap aktivitas produksi hulu bisa kembali bergairah dan memberikan efek berantai positif ke seluruh mata rantai industri tekstil,” tambahnya.

Selain benang filamen, APSyFI juga mendorong agar pemerintah memberikan perlindungan terhadap produk hulu lainnya seperti Purified Terephthalic Acid (PTA) yang menjadi bahan baku utama serat sintetis. Menurut Redma, perlindungan bahan baku merupakan kunci dalam upaya revitalisasi industri secara menyeluruh.

Mendukung langkah tersebut, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menyebutkan bahwa usulan BMAD 20% adalah langkah logis untuk menjaga daya saing industri dalam negeri di tengah tekanan harga global.

“BMAD bukan bertujuan menutup pasar, melainkan memastikan adanya persaingan yang adil. Jika harga impor jauh di bawah biaya produksi domestik, intervensi seperti ini menjadi penting,” kata Faisal.

Ia menambahkan, bahkan dengan tarif BMAD 20%, produk impor mungkin masih tetap memiliki keunggulan harga, sehingga kebijakan ini lebih dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan dan kesempatan yang adil bagi pelaku usaha lokal.

Dengan pengaturan BMAD yang tepat, kebijakan ini diharapkan menjadi fondasi transformasi industri tekstil Indonesia menuju kemandirian, daya saing global, dan keberlanjutan jangka panjang. Jika dijalankan dengan strategi yang tepat, sektor ini tidak hanya akan pulih, tetapi juga siap bersaing di pasar internasional.