Keputusan Kementerian Perdagangan yang tidak melanjutkan pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) untuk benang filamen jenis POY dan DTY asal Tiongkok mendapat dukungan dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). Keputusan tersebut dianggap sebagai langkah strategis untuk menyelamatkan industri tekstil nasional, khususnya sektor hilir yang lebih padat karya dan menyerap banyak tenaga kerja.
Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan API sekaligus Ketua Bidang Perdagangan Apindo, Anne P. Sutanto, menyatakan bahwa permintaan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) agar BMAD tetap diberlakukan tidak mencerminkan kepentingan seluruh pelaku industri tekstil. Menurutnya, APSyFI hanya mewakili sebagian kecil industri, khususnya sektor hulu yang cenderung padat modal.
“APSyFI tidak bisa mewakili seluruh industri tekstil nasional, apalagi Asosiasi Pertekstilan Indonesia,” ujar Anne pada Selasa, 24 Juni 2025. Ia menilai bahwa pengenaan BMAD justru berpotensi melemahkan industri hilir yang menggunakan benang POY sebagai bahan baku utama dalam produksi produk tekstil turunan.
Anne menjelaskan bahwa jika benang POY dikenakan BMAD, maka harga bahan baku akan meningkat dan membuat produk tekstil dalam negeri sulit bersaing dengan produk impor. Akibatnya, industri hilir yang terdiri dari ratusan pabrik berisiko mengalami penurunan produksi hingga penutupan usaha, yang berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
“Langkah Menteri Perdagangan dalam pemerintahan Presiden Prabowo untuk tidak melanjutkan BMAD ini adalah keputusan yang tepat. Ini menyelamatkan ratusan industri tekstil dan ratusan ribu pekerja di sektor ini,” tegas Anne.
Ia menambahkan bahwa kebijakan perdagangan harus mempertimbangkan kepentingan seluruh rantai pasok industri, dari hulu hingga hilir. Fokus pada perlindungan berlebihan terhadap sektor hulu tanpa mempertimbangkan dampaknya pada sektor hilir justru dapat mengganggu keseimbangan dan keberlangsungan industri tekstil nasional secara keseluruhan.