Indonesia sebenarnya telah memiliki rantai pasok industri tekstil yang lengkap, mulai dari produksi serat hingga pakaian jadi. Namun, lemahnya keterkaitan antar-sektor membuat integrasi dalam rantai pasok tersebut tidak berjalan optimal. Menurut Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, kebijakan yang hanya menguntungkan sektor hilir justru bisa mengorbankan sektor hulu. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka fondasi industri nasional bisa terancam runtuh.

Faisal menyoroti bahwa impor kapas sebagai bahan baku utama memang masih dibutuhkan karena produksi dalam negeri belum mencukupi. Namun, kebijakan impor terhadap produk antara seperti benang dan serat seharusnya dibatasi. Jika produk antara dibiarkan masuk bebas, industri hilir tentu akan memilih produk impor yang lebih murah, sehingga sektor hulu dalam negeri makin tertekan. Oleh karena itu, peran negara sangat penting dalam memberikan insentif kepada industri hulu, misalnya melalui subsidi energi, insentif pajak, atau skema pembiayaan khusus, agar daya saing sektor ini bisa meningkat.

Selain itu, ia menekankan pentingnya sinergi antar-kementerian dalam perumusan kebijakan. Ketidakharmonisan kebijakan, seperti tidak diperpanjangnya bea masuk antidumping (BMAD) terhadap serat impor oleh Kementerian Perdagangan, justru dapat memukul produsen dalam negeri. Meskipun industri hilir menyerap lebih banyak tenaga kerja, sektor hulu yang memiliki unit usaha lebih besar tetap memiliki peran strategis. Jika sektor hulu runtuh, maka lapangan kerja pun akan berkurang dan ekosistem industri domestik akan semakin terdesak oleh produk impor.

Pandangan ini turut diamini oleh pelaku industri hulu tekstil, Aqil, yang menyayangkan bahwa sektor hulu kerap terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan. Bahkan ketika diberi ruang, yang sering terdengar hanyalah suara dari sisi hilir, sehingga sektor hulu tidak mendapatkan kepastian arah kebijakan yang dibutuhkan untuk bertahan dan berkembang.