Meskipun sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia mencatat adanya tambahan investasi baru sebesar Rp10,2 triliun pada 2024, geliat industri ini belum menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Sinyal deindustrialisasi dini masih terasa kuat, ditandai dengan rendahnya utilisasi pabrik dan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Farhan Aqil Syauqi, menyebut bahwa tren PHK masih terjadi pada 2025, meskipun skalanya menurun dibanding tahun sebelumnya. Tambahan investasi, meski patut disyukuri, dinilainya belum cukup menggantikan investasi yang berhenti, baik dari sisi produksi maupun penyerapan tenaga kerja.

Data dari Kementerian Perindustrian mencatat kenaikan investasi di sektor TPT dan alas kaki mencapai 124,9% dibanding tahun 2023, namun hanya mampu menyerap 1.907 tenaga kerja. Farhan menekankan bahwa agregat pertumbuhan investasi justru negatif karena jumlah investasi yang berhenti dan pabrik yang tutup lebih besar dibanding investasi baru. Ia menegaskan pentingnya jaminan pasar sebagai daya dorong pertumbuhan, namun kenyataan di lapangan menunjukkan pasar domestik justru dibanjiri produk impor, sementara pasar ekspor masih penuh tantangan.

Kondisi ini turut dirasakan pelaku industri garmen lokal. Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman, mengungkapkan bahwa utilisasi pabrik konveksi skala kecil dan menengah yang menyasar pasar lokal masih di bawah 50%. Produk impor mendominasi baik toko fisik maupun platform daring, membuat pelaku usaha konveksi sulit berkembang meski jumlah anggotanya bertambah karena banyak mantan pekerja pabrik membuka usaha sendiri pasca terkena PHK.

Ketua Bidang Teknologi Industri Tekstil dari Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI), Cecep Daryus, turut menyoroti bahwa profesional tekstil di level manajerial juga terdampak dari lesunya industri. Bahkan, terjadi peningkatan jumlah tenaga ahli Indonesia yang memilih berkarier di luar negeri, seperti Vietnam, Kamboja, dan Malaysia, yang menunjukkan bahwa negara-negara ASEAN lain tengah mengalami pertumbuhan industri tekstil yang cukup pesat.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Rayon Tekstil, Agus Riyanto, memandang skeptis klaim pertumbuhan investasi dan surplus perdagangan yang disampaikan pemerintah. Menurutnya, penutupan sekitar 60 perusahaan TPT menyebabkan investasi senilai lebih dari Rp80 triliun menjadi “mati suri”. Ia menyoroti data Sistem Informasi Industri Nasional (SIINAS) yang dijadikan rujukan oleh Kementerian Perindustrian tidak merepresentasikan kondisi riil karena perusahaan yang tutup tidak lagi melaporkan data mereka.

Agus juga mencatat adanya penurunan signifikan dalam nilai surplus perdagangan sektor TPT, dari US$4,2 miliar pada 2015 menjadi hanya US$2,4 miliar pada 2024. Bahkan secara volume, Indonesia mengalami defisit sebesar 57.000 ton sejak 2016. Menurutnya, penyajian data oleh pemerintah terkesan mengaburkan realitas lemahnya performa industri yang justru memperparah tren deindustrialisasi dini. Kontribusi sektor TPT terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus merosot dari 1,22% pada 2015 menjadi 1,02% pada 2024, mencerminkan penurunan peran strategis industri ini dalam perekonomian nasional.

Padahal, industri TPT memiliki potensi besar sebagai penyerap tenaga kerja dan penggerak ekonomi. Farhan, Nandi, Cecep, dan Agus sependapat bahwa langkah konkret untuk memperbaiki iklim industri, melindungi pasar domestik, serta menjaga agar investasi yang ada tidak sia-sia, harus menjadi prioritas kebijakan pemerintah—khususnya Kementerian Perindustrian—untuk menghindari keruntuhan yang lebih dalam di masa depan.