Pemerintah kembali menegaskan tekadnya menumpas peredaran pakaian bekas impor yang telah lama membanjiri pasar domestik dan merugikan industri tekstil nasional. Kali ini, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjadi sosok yang berdiri di garis depan, membawa “jamu kuat” berupa kebijakan penertiban dan penegakan hukum yang lebih tegas terhadap praktik impor ilegal pakaian bekas atau thrifting.

Purbaya menilai langkah ini bukan sekadar menjaga industri tekstil, tetapi juga memperkuat fondasi ekonomi nasional. Dalam rapat bersama Komite IV DPD RI di Jakarta, ia menegaskan bahwa pemerintah akan memperketat pengawasan serta menutup rapat jalur masuk barang-barang bekas impor ilegal. “Banyak barang-barang ilegal, yang balpres itu semua. Kita akan tutup, supaya industri domestik dan tekstil domestik bisa hidup,” ujarnya tegas.

Sebagai bentuk keseriusan, Purbaya juga berencana memperkuat regulasi yang sudah ada dalam Permendag Nomor 40 Tahun 2022 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Impor. Tak hanya memperjelas larangan, ia ingin menambahkan sanksi denda berat bagi importir nakal agar negara tidak terus dirugikan oleh biaya pemusnahan barang sitaan. Di sisi lain, Bea Cukai diminta bertindak lebih tegas dalam menindak pelaku impor ilegal dan memperkuat pengawasan di pelabuhan—yang selama ini menjadi titik rawan masuknya pakaian bekas dari luar negeri.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menyebut bahwa peredaran pakaian bekas impor bukan sekadar masalah kecil. Data International Trade Center (ITC) Trademap menunjukkan, nilai impor tekstil dan produk tekstil (TPT) ilegal mencapai sekitar US$2 miliar atau Rp33,3 triliun per tahun. Dari jumlah itu, impor pakaian bekas menyumbang sekitar US$300 juta atau Rp5 triliun per tahun—setara 900 juta potong pakaian.

Dampaknya terhadap industri lokal sangat terasa. Kapasitas produksi garmen dalam negeri yang mencapai 2,7 juta ton kini hanya menghasilkan sekitar 2 juta ton, mengalami penurunan sekitar 700 ribu ton. Penurunan tersebut terjadi karena pasar domestik dibanjiri pakaian bekas impor yang jauh lebih murah. “Industri kita produksinya turun 700 ribu ton karena terganggu dari penjualan pakaian bekas impor yang sebesar 18 juta ton,” jelas Redma.

Namun, pertanyaan besar yang muncul adalah mengapa pemerintah tampak kesulitan memberantas praktik impor pakaian bekas ini. Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menilai masalahnya terletak pada lemahnya pengawasan di pelabuhan dan adanya indikasi pembiaran. Padahal, setelah Permendag 40/2022 diberlakukan, impor pakaian bekas sempat turun pada 2023. Tapi pada 2024 dan 2025, angkanya kembali meningkat hingga lebih dari US$1,5 juta hanya dalam delapan bulan pertama tahun ini.

“Artinya, ketika dilarang tapi masih tercatat, berarti ada pelanggaran di pelabuhan tempat serah terima barang. Ini sudah masuk ranah kriminal karena ada pembiaran terhadap barang yang jelas-jelas dilarang masuk,” tegas Nailul.

Ia menambahkan, kehadiran pakaian bekas impor membuat industri tekstil lokal kehilangan daya saing. Harga satu potong pakaian bekas dari Taiwan hanya sekitar Rp1.700 hingga Rp2.000, dan dengan tambahan biaya lainnya, HPP-nya tidak lebih dari Rp4.000. Sementara itu, biaya produksi pakaian dalam negeri mencapai Rp90 ribu hingga Rp98 ribu per potong. Selisih harga yang sangat jauh ini membuat produk lokal nyaris tak mungkin bersaing di pasar.

“Lebih baik menyelamatkan industri dalam negeri dibandingkan pedagang pakaian bekas di Pasar Senen,” ujar Nailul dengan nada tegas.

Kini bola panas ada di tangan Purbaya. Jika “jamu kuat” kebijakan yang disiapkannya benar-benar ampuh, bukan tidak mungkin industri tekstil nasional bisa kembali bangkit dan menguasai pasar domestik. Namun jika penegakan hukum kembali lemah, ancaman pakaian bekas impor akan terus menjadi racun yang melemahkan tubuh industri tekstil Indonesia.