Tren pemutusan hubungan kerja (PHK) masih melanda sektor industri di Indonesia, khususnya di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT), serta sektor padat karya lainnya. Lebih dari 7.000 pekerja telah menjadi korban PHK sejak awal tahun 2023, menandakan kondisi yang semakin memprihatinkan. Salah satu faktor utama yang menyebabkan gelombang PHK ini adalah penetrasi besar produk impor, baik secara legal maupun ilegal, yang membanjiri pasar domestik. Stok di pabrik-pabrik dalam negeri menumpuk, mengakibatkan penurunan produksi dan akhirnya PHK massal.

Menurut Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), lebih dari 7.200 buruh telah kehilangan pekerjaan mereka sejak awal tahun 2023. Sebanyak 700-an di antaranya terpaksa di-PHK karena pabrik tempat mereka bekerja tutup. Lokasi kejadian terbesar tercatat di Jawa Barat.

Presiden KSPN, Ristadi, menyatakan bahwa jumlah PHK di industri TPT nasional sejak awal 2023 telah mencapai 7.200-an orang dari 8 perusahaan yang terkena dampak. Namun, jika total dari tahun 2020 dihitung, jumlah korban PHK mencapai 56.976 orang dari 36 perusahaan yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten.

Alasan di balik gelombang PHK ini mencakup berbagai faktor. Perlambatan ekonomi di pasar ekspor utama Indonesia, seperti Eropa dan Amerika Serikat, menjadi salah satu penyebab utama. Selain itu, penetrasi produk impor, perang Rusia-Ukraina yang memicu krisis di Amerika dan Eropa, serta kendala suplai bahan baku dari vendor juga turut menyumbang terjadinya PHK massal.

Modernisasi mesin-mesin pabrik juga menjadi faktor lain yang meningkatkan potensi PHK, meskipun meningkatkan produktivitas dan kualitas produksi secara keseluruhan.

Dampak dari kondisi ini sudah terasa di sektor industri pertenunan dan garmen. Jumlah mesin yang dioperasikan oleh satu pekerja telah meningkat secara signifikan, yang pada gilirannya memangkas tenaga kerja manusia.

Pemerintah dipanggil untuk bertindak cepat mengatasi masalah ini. KSPN menyerukan langkah-langkah yang termasuk pembatasan impor ilegal, bantuan modernisasi mesin, kebijakan perbankan yang mendukung, hingga promosi perluasan pasar tekstil ke luar AS dan Uni Eropa.

Untuk menyelamatkan industri orientasi pasar lokal, langkah-langkah seperti menghentikan impor ilegal, membatasi perjanjian perdagangan, dan memberikan bantuan dalam modernisasi mesin menjadi kunci. Sementara untuk industri yang berorientasi ekspor, kebijakan pajak yang mendukung, harga energi yang kompetitif, serta proses perizinan yang cepat perlu diimplementasikan.

Krisis di industri tekstil Indonesia membutuhkan respons cepat dan langkah-langkah konkret agar tidak semakin memburuk. Dengan dukungan dari pemerintah, diharapkan sektor ini dapat pulih dan memberikan lapangan kerja yang stabil bagi masyarakat.

Pabrik-pabrik yang bertumbangan dan gelombang PHK massal bukan hanya masalah industri, tetapi juga menciptakan dampak sosial yang luas bagi masyarakat. Diperlukan kerjasama dari berbagai pihak untuk mengatasi tantangan ini demi keberlangsungan industri dan kesejahteraan pekerja di Indonesia.