Pada awalnya, keputusan tegas dari Presiden Joko Widodo mengenai larangan perdagangan pakaian bekas mengguncang masyarakat. Namun, keputusan ini tidak hanya menggetarkan para pedagang pakaian bekas, tetapi juga meruncingkan perhatian pada dampak sosial yang mungkin terjadi. Pada saat kebijakan ini diberlakukan, Kota Medan, khususnya, mengalami kegelisahan. Di tengah riuhnya keramaian, satu nama memancar: Simonza. Masyarakat dari berbagai kalangan di Kota Medan mengenal Simonza sebagai konsumen setia pakaian bekas impor yang terkenal dengan brand ternama namun harga terjangkau.

Simonza menjadi ikon dalam pangsa pasar pakaian bekas impor di banyak tempat, terutama di pajak-pajak tradisional seperti Pajak Melati, Pajak Simalingkar, Pajak Marelan, Pajak Helvetia, dan hampir di semua pajak lainnya. Ini menjadi bagian penting dari keseharian masyarakat Kota Medan, memberikan pilihan yang terjangkau untuk barang impor berkualitas.

Namun, larangan yang ditegaskan oleh Presiden segera dijalankan oleh aparat terkait, menyebabkan penggerebekan dan pemusnahan barang-barang bekas impor. Tangisan pedagang dan pekerja dalam sektor ini menciptakan suasana yang menyedihkan. Sebelumnya, perdagangan ini berlangsung tanpa hambatan, meskipun status barang tersebut tidak sepenuhnya legal dan terdaftar di Badan Pusat Statistik (BPS).

Dari data yang diungkapkan oleh BPS, impor pakaian bekas di Indonesia menunjukkan fluktuasi selama lima tahun terakhir. Lonjakan tertinggi terjadi pada tahun 2019, sebesar 392 ton, meningkat tiga kali lipat dari tahun sebelumnya. Namun, adanya larangan ini mempengaruhi aktivitas sektor ini secara signifikan.

Asal usul nama "Simonza" di Kota Medan masih menjadi misteri, dengan beberapa sumber yang menyarankan bahwa namanya berasal dari Monginsidi Plaza. Di sepanjang jalan Monginsidi, terdapat banyak toko yang menjual pakaian bekas impor dengan berbagai brand terkenal.

Pakaian-pakaian bekas ini berasal dari Malaysia, melalui Kota Tanjung Balai yang menjadi pusat perdagangan pakaian bekas yang layak pakai. Karena hubungan yang erat antara Kota Tanjung Balai dan Malaysia, barang-barang ilegal ini dapat masuk dengan mudah ke Indonesia.

Keunggulan dari pakaian bekas impor ini terletak pada harganya yang terjangkau serta kualitasnya yang masih baik meskipun bekas. Hal ini menarik minat konsumen, membuat permintaan terus meningkat, terutama untuk merek luar negeri yang terkenal.

Namun, ada konsekuensi dari tren ini. Banyak pakaian bekas impor mengandung bakteri yang tidak hilang meskipun dicuci berulang kali, berdampak pada kesehatan. Kendati demikian, minat masyarakat terhadap barang-barang ini tidak surut.

Kembalinya simonza ke pangsa pasar setelah sejenak ditutup, menghadirkan angin segar bagi pedagang dan mengurangi tingkat pengangguran di Kota Medan. Namun, hal ini juga memberikan tekanan pada Industri Kecil Menengah (IKM) di sektor tekstil. Ekosistem industri TPT nasional terus menurun karena persaingan dengan pakaian bekas impor.

Dengan dilema yang dihadapi, perdebatan terus berlanjut mengenai efek positif dan negatif dari perdagangan pakaian bekas impor. Di tengah pergulatan kebijakan dan kehidupan sosial masyarakat, simonza kembali menjadi pusat perhatian, mencerminkan kompleksitas pasar dan kehidupan di Kota Medan.