Meskipun pandemi COVID-19 telah berakhir, bayang-bayang ketidakpastian ekonomi masih menghantui banyak negara, termasuk Indonesia. Meski terdapat peningkatan pertumbuhan ekonomi pada Triwulan II 2023, mencapai 5,1-7 persen, sejumlah sektor usaha masih berjuang untuk pulih dari dampak krisis. Menurut laporan Global Economic Prospect Juni 2023 dari Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi dunia terus melambat. Proyeksi untuk tahun 2023 direvisi menjadi 2,1 persen, jauh di bawah proyeksi sebelumnya. Prediksi untuk tahun 2024 dan 2025 juga tidak menjanjikan, dengan pertumbuhan yang diproyeksikan hanya sekitar 2,4 persen dan 3 persen berturut-turut.

Perlambatan ekonomi global ini telah membawa dampak yang signifikan bagi sektor ekspor Indonesia, terutama industri tekstil dan garmen. Permintaan yang menurun dari luar negeri telah menyebabkan sejumlah perusahaan di sektor ini harus merumahkan atau bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan mereka.

Menurut data dari Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), sejak awal pandemi hingga awal 2023, lebih dari 56.976 pekerja telah mengalami PHK, dengan sebagian besar berasal dari sektor tekstil dan garmen. Namun demikian, angka tersebut diperkirakan masih lebih rendah dari kenyataan sebenarnya, karena hanya mencerminkan laporan yang diterima oleh KSPN.

Meskipun terdapat penurunan tingkat pengangguran terbuka pada awal 2023, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran masih tetap tinggi jika dibandingkan dengan periode sebelum pandemi.

Di tengah gelombang PHK yang melanda sektor industri, pemerintah Indonesia tetap mempertahankan optimisme terhadap pemulihan bisnis manufaktur. Indeks manufaktur, yang mencapai 52,5 pada Juni 2023, menjadi cermin dari keyakinan ini. Namun, untuk mencapai pemulihan yang signifikan, upaya lebih lanjut diperlukan.

Penguatan daya saing melalui pendanaan yang lebih kuat dan peningkatan keterampilan tenaga kerja menjadi fokus utama dalam upaya pemulihan sektor tekstil, sepatu, dan garmen. Selain itu, pemerintah juga terus berupaya mengatasi hambatan dagang, seperti bea masuk tambahan 12 persen di pasar Amerika Serikat, untuk meningkatkan ekspor dan mendukung pemulihan ekonomi secara keseluruhan.

Dengan tantangan yang kompleks ini, kerja sama antara pemerintah, industri, dan masyarakat menjadi kunci untuk mengatasi dampak pemulihan ekonomi yang lambat dan menghadapi masa depan yang lebih stabil dan berkelanjutan.