Gejolak geopolitik yang terjadi di sekitar Laut Merah telah memicu lonjakan harga dalam industri manufaktur, menghadirkan tantangan baru bagi produsen dan konsumen di Indonesia. Kenaikan tarif angkutan logistik akibat konflik tersebut telah memengaruhi biaya produksi dan distribusi, mengakibatkan potensi kenaikan harga pada sejumlah produk manufaktur yang bergantung pada bahan baku impor. Asosiasi Logistik Indonesia mencatat bahwa ongkos kirim logistik naik sekitar 40% hingga 50%, menyebabkan kapal-kapal kontainer menghindari jalur konflik di Laut Merah dan memutar lewat rute yang lebih panjang, seperti Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Akibatnya, waktu tempuh perjalanan kapal menjadi lebih lama, yang berpotensi memperlambat distribusi bahan baku dan produk jadi.
Kenaikan tarif logistik ini menjadi tantangan tambahan bagi industri makanan-minuman (mamin), yang terus berjuang dengan volatilitas harga bahan baku. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan-Minuman Indonesia (Gapmmi), Adhi S. Lukman, mengungkapkan bahwa sulitnya memprediksi pengiriman bahan baku juga menambah ketidakpastian dalam rantai pasok mamin.
Namun, kenaikan biaya produksi mamin tidak selalu dapat langsung tercermin dalam kenaikan harga jual produk, mengingat daya beli masyarakat Indonesia yang belum pulih sepenuhnya. Produsen mamin harus mempertimbangkan dengan cermat sebelum menaikkan harga produk, mengingat kondisi ekonomi yang masih rapuh.
Selain mamin, sektor industri lainnya juga terdampak oleh lonjakan harga bahan baku. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mencatat kenaikan harga Methyl Ethylene Glycol (MEG) sebesar 3,4%, yang sebagian besar diimpor dari Arab Saudi. Hal ini menunjukkan bahwa konflik di Laut Merah tidak hanya memengaruhi tarif logistik, tetapi juga harga bahan baku industri manufaktur.
Meskipun begitu, produsen dalam industri tekstil dan produk tekstil (TPT) masih kesulitan menyesuaikan harga jual produk mereka di pasar domestik, terutama karena adanya persaingan dengan produk impor ilegal. TPT nasional juga mengalami hambatan dalam melakukan ekspor, menyebabkan produktivitas pabrik menurun dan mendorong perlunya efisiensi dalam operasional perusahaan.
Dalam menghadapi situasi ini, asosiasi-asosiasi produsen manufaktur perlu mencari strategi kreatif untuk mengurangi dampak kenaikan ongkos logistik. Hal ini termasuk mencari alternatif jalur distribusi yang tidak melalui Laut Merah serta melakukan negosiasi dengan pihak-pihak terkait untuk meminimalkan lonjakan biaya produksi. Dengan demikian, diharapkan dampak negatif konflik di Laut Merah terhadap industri manufaktur dapat dikelola dengan lebih baik, sehingga tidak memberatkan konsumen akhir.