Industri tekstil di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih menghadapi tantangan yang serius meskipun upaya untuk memperbaiki kondisinya terus dilakukan. Salah satu aspek utama yang memengaruhi industri ini adalah kondisi geopolitik global yang belum stabil. Timotius Apriyanto, Sekretaris Umum BPD Asosiasi Petekstilan Indonesia (API) DIY, menjelaskan bahwa situasi geopolitik global telah menimbulkan tekanan yang signifikan, menyebabkan kontraksi dalam permintaan dan penawaran produk tekstil. Krisis di berbagai belahan dunia, seperti konflik di Laut Merah, perang di Rusia-Ukraina yang masih berlangsung, dan krisis di Gaza, semuanya berdampak pada industri tekstil.
Kondisi ekonomi yang sulit di beberapa negara, seperti Inggris dan Eropa yang mengalami pertumbuhan ekonomi negatif, serta tingginya tingkat inflasi di Jerman, juga berperan dalam menurunkan permintaan produk tekstil. Apriyanto menyoroti bahwa dalam situasi ekonomi yang tidak stabil, konsumen cenderung lebih memprioritaskan pembelian barang-barang esensial daripada produk fesyen.
Dalam konteks ini, rapat bersama Asosiasi Perusahaan Kawasan Berikat (APKB) memperkirakan bahwa perusahaan tekstil dan produk tekstil yang berorientasi ekspor dapat tumbuh sebesar 10-15 persen. Namun, pertumbuhan ini masih sangat tergantung pada situasi geopolitik global yang menguntungkan.
Selain konflik dan ketidakpastian politik, tahun ini juga ditandai sebagai "The Year of Election" di mana sekitar 75 negara akan mengadakan pemilihan umum. Ketidakpastian politik ini melibatkan lebih dari 4 miliar orang di seluruh dunia, yang berpotensi memperburuk situasi ekonomi global.
Menanggapi tantangan ini, fokus utama industri tekstil saat ini adalah untuk merespons kebijakan Uni Eropa yang akan menerapkan energi baru terbarukan (EBT) pada tahun 2030. Hal ini menuntut penggunaan listrik non-fosil dan non-batubara dalam produksi tekstil, yang memerlukan persiapan dan adaptasi secepat mungkin.
Selain tantangan geopolitik, industri tekstil DIY juga dihadapkan pada masalah barang impor yang marak. Apriyanto berharap pemerintah dapat memberikan perlindungan untuk mencegah banjirnya produk impor, terutama dari Tiongkok dan negara lain yang dapat mengganggu daya saing industri tekstil lokal.
Di sisi lain, Herum Fajarwati, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, mencatat bahwa meskipun ekspor barang hasil industri seperti kulit, pakaian, dan barang rajutan mengalami penurunan, ekspor ke luar provinsi DIY tetap tinggi, terutama ke daerah seperti Bali.
Penurunan ekspor ini disebabkan oleh kondisi ekonomi global yang tidak stabil, sementara permintaan domestik justru tumbuh positif. Hal ini menunjukkan bahwa sementara industri tekstil menghadapi tantangan di pasar global, ada potensi untuk meningkatkan penetrasi pasar domestik.
Secara keseluruhan, industri tekstil DIY dihadapkan pada berbagai tantangan kompleks, mulai dari ketidakpastian geopolitik global hingga persaingan dengan barang impor. Namun, dengan strategi yang tepat dan dukungan pemerintah, industri ini dapat terus bertahan dan berkembang di tengah perubahan yang terus berlangsung dalam dunia perdagangan internasional.