Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia menghadapi tantangan besar yang memuncak dalam krisis pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melibatkan lebih dari 1 juta pekerja. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, memperkirakan angka ini seiring dengan penurunan drastis dalam utilisasi pabrik sejak kuartal keempat tahun 2022. Perlambatan ekonomi global yang mengakibatkan penurunan permintaan dari pasar ekspor utama produk TPT Indonesia menjadi salah satu faktor utama yang memicu gelombang PHK ini. Serangan barang impor, baik yang legal maupun ilegal, juga telah menggerus pangsa pasar bagi industri domestik.

Redma menjelaskan bahwa sebelumnya, ketika utilisasi pabrik mencapai 80%, industri TPT menyerap langsung sekitar 3,7 juta tenaga kerja. Namun, dengan turunnya utilisasi menjadi 45%, sekitar 1 juta pekerja kehilangan pekerjaan mereka sejak tahun 2022.

Namun, Redma menegaskan bahwa tidak mungkin penurunan utilisasi sebesar itu hanya menyebabkan penurunan pekerjaan sebanyak 50%. Dalam konteks ini, ia memandang bahwa langkah-langkah tegas dari pemerintah, seperti penerapan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 36/2023 tentang Kebijakan Pengaturan Impor, sangat penting.

Dengan perubahan Permendag tersebut melalui Permendag No 3/2024, yang mulai berlaku sejak 10 Maret 2024, diharapkan arus barang impor dapat terkendali lebih baik. Redma menegaskan bahwa sekitar 50% dari total pekerja yang mengalami PHK adalah dari industri garmen, diikuti oleh pabrik tenun dan spinning.

Dia mengapresiasi langkah-langkah pemerintah dalam menciptakan kompetisi yang adil di pasar domestik, yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan sehat bagi industri TPT dalam negeri. Harapannya adalah agar industri domestik dapat kembali menikmati peningkatan permintaan, yang pada gilirannya dapat membuka peluang bagi para pekerja yang telah kehilangan pekerjaan.

Meskipun demikian, Redma juga menegaskan bahwa tantangan belum berakhir, dan tren PHK masih berlanjut. Banjirnya barang impor yang terus menerus masuk ke pasar domestik tanpa tindakan yang tegas dari pemerintah menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan kondisi ini.

Dalam suasana yang tetap penuh tantangan, pengusaha tekstil nasional menyatakan ketidakmampuannya untuk mengandalkan pasar domestik. Oleh karena itu, langkah-langkah lebih lanjut mungkin perlu diambil untuk mengatasi masalah impor yang berlebihan dan merugikan industri TPT dalam negeri.

Dalam jangka panjang, kerjasama yang erat antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat akan menjadi kunci untuk mengatasi krisis ini dan menjaga keberlangsungan serta daya saing industri TPT Indonesia di pasar global.