Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) diperkirakan akan kembali terjadi dengan angka yang lebih besar. Sejak awal 2024 hingga kini, sekitar 13.800 pekerja di industri ini telah terkena PHK, menurut data yang dihimpun Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN). Namun, jumlah sebenarnya diyakini lebih tinggi karena ada pekerja yang tidak melapor saat terkena PHK.
Penyebab Utama: Penurunan Pemesanan
Presiden KSPN, Ristadi, menyatakan bahwa kondisi ini terjadi akibat penurunan pemesanan hingga tidak ada lagi order. Saat ini, industri TPT yang mampu bertahan adalah yang berorientasi pada pasar ekspor. Ristadi mengharapkan pemerintah turun tangan agar gelombang PHK tidak semakin besar.
"Batasi impor barang TPT kecuali bahan bakunya memang tidak ada di Indonesia. Berantas impor ilegal barang-barang TPT karena merusak pasar domestik," ungkap Ristadi.
Dampak Permendag Nomor 8 Tahun 2024
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmadja, menambahkan bahwa banyak perusahaan tekstil gulung tikar karena imbas Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Jemmy menilai aturan ini merugikan industri sektor TPT karena lebih berpihak pada importir umum, dengan menghilangkan aturan pertimbangan teknis (pertek) yang sebelumnya menjadi kewenangan Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Konsekuensi dari Penghapusan Pertek
Padahal, pertek ini bertujuan untuk mengontrol arus masuk barang-barang impor. Tanpa pertek, barang impor tidak terkendali dan menghancurkan industri dalam negeri. Pengamat industri tekstil dan mantan Sekretaris Jenderal API, Rizal Tanzil Rakhman, menyampaikan bahwa gelombang PHK massal di industri tekstil merupakan imbas dari terbitnya Permendag 8/2024.
Menurut Rizal, lahirnya Permendag 8/2024 semakin membuat industri tekstil terpuruk setelah sebelumnya sudah tertekan oleh kondisi geopolitik yang tidak stabil, daya beli masyarakat yang lemah, kondisi makroekonomi yang buruk, dan impor yang tidak terkendali.
"Pemerintah harus melihat apa yang terjadi di industri tekstil, mendengar apa yang menjadi kebutuhan teman-teman industri tekstil untuk segera diwujudkan oleh pemerintah," jelas Rizal.
Risiko Gelombang PHK Susulan
Rizal menambahkan bahwa jika pemerintah diam saja, industri tekstil akan semakin berdarah-darah dan menimbulkan efek ganda (multiplier effect) yang semakin besar dan sulit tertangani. Salah satu risiko terbesar adalah gelombang PHK massal susulan di industri tekstil yang akan lebih besar.
Permintaan untuk Tindakan Pemerintah
Industri tekstil menghadapi krisis serius yang membutuhkan tindakan segera dari pemerintah untuk mencegah kerugian lebih lanjut dan melindungi pekerjaan ribuan pekerja. Pembatasan impor barang TPT dan pemberantasan impor ilegal menjadi langkah yang sangat mendesak untuk diambil guna menyelamatkan industri ini dan menghindari gelombang PHK yang lebih besar.