Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) secara terbuka mengajukan keluhan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai berbagai strategi yang digunakan pengusaha China untuk menguasai pasar domestik dengan produk tekstil murah. Dalam pertemuan dengan Komisi VII DPR RI pada Rabu, 10 Juli 2024, pelaku industri tekstil mengungkapkan kekhawatirannya terhadap berbagai jalur masuk impor produk China, mulai dari e-commerce, media sosial, hingga pasar tradisional di Indonesia.
Ketua Umum API, Jemmy Kartiwa, menyoroti banyaknya produk tekstil impor berupa pakaian jadi hingga sepatu yang masuk melalui jalur yang tidak seharusnya. Salah satu contoh adalah barang bekas sepatu dari Singapura yang seharusnya untuk daur ulang, tetapi malah masuk ke Indonesia. "Saat ini, banyak ditemukan barang impor murah di dalam negeri. Contohnya platform seperti Temu atau Pindodo di China, serta Tao Bao dan Ali Express, yang memasukkan produk cross border e-commerce ke Indonesia dengan harga yang sangat murah," ungkap Jemmy.
Jemmy juga menjelaskan bahwa meskipun pakaian jadi masih dikenakan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) atau safeguard, produk impor tersebut tetap dijual dengan harga sangat murah, berkisar antara Rp50.000 hingga Rp60.000 per piece, padahal safeguard berada di kisaran Rp28.000 per piece. Tidak hanya itu, Jemmy menyoroti akun-akun di media sosial seperti Instagram yang dimiliki oleh warga keturunan China yang tinggal di Indonesia. Salah satu akun yang kontroversial adalah @liam.supplychain, yang membedah cara berdagang 'menguntungkan' di Indonesia.
"Orang Tiongkok yang tinggal di Indonesia mengajarkan cara berdagang di Indonesia, termasuk cara menghindari pembayaran pajak," tuturnya. Salah satu konten yang dinilai kontroversial berjudul 'Mau cari barang murah, ikuti saya ke China', di mana orang-orang diajarkan untuk tidak menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan memanfaatkan celah-celah pemerintah untuk membayar pajak seminimal mungkin.
Jemmy juga mengkritik pusat grosir pakaian jadi seperti Moiz Trade Center (MTC) di Tanah Abang, yang secara gamblang menggunakan bahasa kanji dan nomor kontak dari China serta aplikasi WeChat. "Mereka langsung menyerang pasar Indonesia. Teman-teman saya baru saja membeli dari toko-toko di sana, dan masih berlabel bahasa China dengan harga yang cukup murah," tuturnya.
Hal ini menimbulkan polemik dan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia, khususnya pakaian jadi, mulai terpuruk dan mengalami penurunan kinerja di sektor midstream dan hulu.