Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSYFI) mengapresiasi rencana pemerintah untuk mengenakan bea masuk impor tekstil sebesar 200 persen. Ketua Umum APSYFI, Redma Gita Wirawasta, mengungkapkan bahwa kebijakan ini dapat memberikan dorongan signifikan bagi industri tekstil nasional untuk kembali bangkit.

"Langkah ini sangat positif bagi industri tekstil kita. Namun, implementasinya harus melalui mekanisme yang tepat, seperti Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMPT) dan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD)," kata Redma pada pekan lalu. Ia menekankan bahwa kebijakan tersebut, selain memberikan perlindungan terhadap produk lokal, juga harus disertai dengan langkah-langkah pengawasan yang ketat.

Dukungan APSYFI terhadap kebijakan ini juga terlihat dari pernyataan mereka mengenai rencana Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang ingin membentuk Satgas Pengawasan Barang Impor Ilegal. Menurut Redma, upaya ini merupakan langkah yang tepat untuk menekan masuknya barang-barang impor tekstil secara ilegal ke Indonesia, yang selama ini menjadi ancaman bagi industri lokal.

Namun, Redma juga menyoroti pentingnya pembenahan di sisi Bea Cukai. "Bea Cukai harus memperbaiki aturan-aturannya agar barang ilegal tidak masuk ke Indonesia. Tanpa pembenahan ini, upaya untuk menekan barang impor ilegal akan sia-sia," tambahnya.

Di sisi lain, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan juga menegaskan komitmennya untuk mengenakan bea masuk tinggi terhadap barang-barang asal China, termasuk tekstil. "Amerika bisa mengenakan tarif hingga 200 persen untuk keramik dan pakaian, kita juga bisa. Ini penting agar UMKM dan industri lokal kita bisa tumbuh dan berkembang," ujarnya di Bandung, Jawa Barat.

Zulkifli menjelaskan bahwa langkah ini merupakan respons terhadap regulasi-regulasi perdagangan sebelumnya yang belum memberikan perlindungan maksimal bagi industri lokal. Dengan kebijakan baru ini, diharapkan industri tekstil dan alas kaki nasional bisa lebih kompetitif dan mampu bersaing dengan produk impor yang masuk ke pasar Indonesia.