Anto, seorang mahasiswa di Akademi Komunitas Tekstil Solo (AK-Tekstil Solo), memilih kampus tersebut dengan keyakinan bahwa setelah lulus ia akan mendapatkan pekerjaan di industri tekstil. Keyakinan ini didasarkan pada kerjasama kampus dengan berbagai perusahaan tekstil terpercaya. Namun, saat ini, suasana kampus lebih sepi dari biasanya karena banyak mahasiswa yang sedang libur, magang, atau baru saja diterima sebagai mahasiswa baru.
AK-Tekstil Solo, didirikan pada tahun 2015 oleh Kementerian Perindustrian, telah mengalami fluktuasi dalam jumlah pendaftar dan lulusan. Pada tahun 2018, jumlah pendaftar mencapai puncaknya dengan 324 mahasiswa baru, namun menurun tajam selama pandemi. Hingga tahun 2023, jumlah lulusan juga mengalami penurunan drastis.
Terdapat tiga program studi di AK-Tekstil Solo, yaitu D-II Teknik Pembuatan Benang, D-II Teknik Pembuatan Kain Tenun, dan D-II Teknik Pembuatan Garmen. Meski demikian, ambruknya industri tekstil nasional memicu kekhawatiran di kalangan akademisi tekstil, termasuk Direktur AK-Tekstil Solo, Wawan Ardi Subakdo. Ia menekankan pentingnya peran kampus dalam menyediakan sumber daya manusia bagi industri tekstil.
Sekitar 60 pabrik tekstil di Indonesia bermitra dengan AK-Tekstil Solo. Namun, krisis industri tekstil mengancam keberlangsungan pendidikan di kampus ini. Menurut Lilik Setiawan dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah, industri tekstil mempekerjakan 43 persen tenaga kerja di sektor manufaktur. Jika industri ini tidak pulih, dampaknya akan meluas ke sektor lain seperti industri makanan-minuman dan otomotif.
Sepuluh perusahaan tekstil di Jawa Tengah telah tutup, mengakibatkan lebih dari 10 ribu pekerja kehilangan pekerjaan. Indonesia juga menghadapi persaingan ketat dari negara-negara seperti Vietnam, Laos, Kamboja, Myanmar, India, Bangladesh, dan Pakistan.
Beberapa perguruan tinggi dengan jurusan tekstil telah bubar, namun AK-Tekstil Solo, Politeknik STTT Bandung, dan Akademi Komunitas Tekstil API Surabaya masih bertahan. Meski demikian, kekhawatiran tetap ada. Wawan Ardi Subakdo menyatakan bahwa lesunya industri tekstil berimbas pada penyerapan lulusan kampus. Sebagai solusi, kampus mengubah orientasi kurikulum untuk mengarahkan lulusan menjadi pengusaha UMKM tekstil.
Lilik Setiawan menambahkan bahwa keterpurukan industri tekstil tidak hanya mengancam industri domestik tetapi juga sektor pendidikan tekstil. Oleh karena itu, perlu adanya upaya bersama untuk menyelamatkan industri tekstil dan memastikan keberlangsungan pendidikan di bidang ini.