Dalam beberapa bulan terakhir, industri tekstil di Indonesia mengalami tekanan berat dengan meningkatnya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa sebanyak 46.240 pekerja di industri ini kehilangan pekerjaan pada periode Januari hingga Agustus 2024. Hal ini memicu kekhawatiran banyak pihak, termasuk Komisi IX DPR RI, yang meminta pemerintah segera mencari solusi.

Netty Prasetiyani, anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap tren PHK yang semakin meningkat. Dalam keterangannya, ia menegaskan bahwa pemerintah tidak bisa hanya bersikap pasif menghadapi persoalan ini. “Pemerintah harus bersikap dan mencari solusi atas tingginya angka PHK di industri tekstil. Jangan tenang-tenang saja seolah tidak ada masalah,” tegas Netty.

Netty menjelaskan bahwa PHK massal ini bukan hanya masalah bagi para pekerja, tetapi juga menandakan ada yang tidak beres dalam industri tekstil nasional. Menurutnya, tumbangnya industri dalam negeri dapat memberikan dampak yang lebih luas terhadap perekonomian secara umum. Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memperbaiki dan menyehatkan kembali sektor tersebut.

Salah satu langkah yang disarankan oleh Netty adalah penerapan kebijakan yang dapat mendorong perusahaan untuk bangkit dari masalah keuangan dan produksi. “Pemerintah harus fokus mengatasi masalah pada upaya perbaikan dan penyehatan perusahaan. Buat kebijakan yang dapat mendorong perusahaan kembali sehat secara keuangan dan juga proses produksi,” jelasnya.

Namun, Netty mengkritisi kebijakan job fair yang diadakan di berbagai kota oleh pemerintah. Meskipun terlihat baik di permukaan dan menarik perhatian masyarakat, job fair dinilai tidak menyentuh akar permasalahan. “Hal tersebut tidak menyelesaikan masalah industri yang tumbang dan gulung tikar,” tambah Netty.

Lebih jauh lagi, Netty menyebut salah satu faktor utama di balik tumbangnya industri tekstil dalam negeri adalah persaingan tidak sehat dengan produk impor, terutama dari Cina. Produk-produk tekstil dari Cina, yang dijual jauh lebih murah di pasar Indonesia, membuat produsen lokal sulit bersaing. Kondisi ini diperparah dengan adanya subsidi dari pemerintah Cina untuk produknya serta kemungkinan adanya impor ilegal yang masuk ke Indonesia.

Netty mendesak pemerintah untuk segera memperketat pengawasan terhadap produk impor, terutama dari Cina, serta memberantas praktik jual dan impor ilegal. “Jika kondisi ini dibiarkan, tentunya akan semakin banyak industri dalam negeri yang tumbang dan memPHK karyawannya,” ujarnya.

Menurut Netty, tingginya angka PHK dapat menimbulkan dampak sosial yang lebih serius di masa depan. “Banyaknya PHK akan melahirkan generasi cemas, alih-alih generasi emas,” pungkasnya.