Industri manufaktur Indonesia saat ini tengah menghadapi tekanan besar, baik dari segi pasar ekspor maupun banjir impor murah yang merusak daya saing produk dalam negeri. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam, menyoroti hal ini dengan menyatakan bahwa Indonesia telah kehilangan salah satu pasar ekspor terpentingnya, yaitu Eropa. Menurutnya, keterlambatan dalam menyelesaikan perjanjian perdagangan bebas antara Indonesia dan Uni Eropa menjadi salah satu penyebab utama industri manufaktur dalam negeri terpukul.
Saat ini, pemerintah Indonesia dan Uni Eropa masih merundingkan perjanjian bilateral dagang yang dikenal sebagai Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Meskipun perundingan ini sudah berlangsung sejak 2016 dengan 17 putaran, perjanjian tersebut belum juga rampung. Bob Azam menekankan bahwa ketidakpastian ini menyebabkan produk-produk Indonesia dikenai tarif masuk ke pasar Eropa, yang berdampak pada penurunan daya saing produk lokal, khususnya pada sektor tekstil dan alas kaki.
Selain itu, sektor manufaktur Indonesia juga menghadapi tantangan dari membanjirnya produk Cina yang masuk ke pasar dalam negeri. Bob Azam menekankan bahwa defisit perdagangan Indonesia dengan Cina terus meningkat, sementara Cina sendiri tengah mencari pasar baru untuk menampung over supply mereka akibat pengurangan impor dari Eropa dan Amerika Serikat. Kondisi ini semakin memperparah krisis yang dihadapi sektor manufaktur Indonesia.
Di sisi lain, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan bahwa Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Agustus 2024 kembali mengalami penurunan, mencatat angka 48,9—turun dari 49,3 pada Juli 2024. Kontraksi ini menandakan bahwa industri manufaktur Indonesia berada dalam fase penurunan, yang dipicu oleh penurunan output dan permintaan baru yang paling tajam sejak Agustus 2021. Selain itu, permintaan asing juga semakin anjlok, dengan penurunan tertajam sejak Januari 2023.
Agus Gumiwang menyebutkan bahwa banjir barang impor murah yang belum dapat dibendung menjadi penyebab utama menurunnya performa sektor manufaktur. Ketidakmampuan kementerian dalam menghadirkan kebijakan yang efektif untuk menekan laju impor semakin memperburuk kondisi tersebut. Akibatnya, sektor manufaktur Indonesia harus menghadapi persaingan yang semakin ketat, baik di pasar domestik maupun internasional.
Secara keseluruhan, kondisi sektor manufaktur Indonesia saat ini berada pada titik kritis. Diperlukan kebijakan yang tegas dan penyelesaian cepat atas perjanjian perdagangan dengan Uni Eropa agar pasar ekspor bisa dipulihkan. Selain itu, perlu ada upaya yang lebih kuat untuk melindungi industri dalam negeri dari serangan produk impor yang merusak stabilitas sektor manufaktur.