Peta industri tekstil dan garmen global tengah mengalami pergeseran tektonik seiring dengan ambisi besar negara-negara Afrika untuk merebut pangsa pasar dari Asia. Dalam tiga bulan terakhir, Mesir dan Kenya telah memposisikan diri mereka bukan sekadar sebagai alternatif, melainkan sebagai pusat gravitasi baru manufaktur global. Dengan keunggulan logistik ke Eropa dan akses pasar tanpa tarif ke Amerika Serikat, kedua negara ini kini menjadi magnet bagi investasi asing yang mencari stabilitas di tengah ketegangan geopolitik dunia.

Di Mesir, ambisi ini mencapai puncaknya melalui operasional penuh kompleks industri di Mahalla al-Kubra. Proyek ini bukan sekadar pembangunan pabrik biasa, melainkan pusat tekstil terintegrasi yang diklaim sebagai yang terbesar di dunia. Ahmed El-Behery, penasihat kementerian di Kementerian Sektor Bisnis Publik Mesir, dalam sebuah pernyataan resminya menekankan bahwa modernisasi ini adalah langkah strategis nasional. "Kami tidak hanya membangun pabrik, kami sedang membangun kembali identitas ekonomi Mesir melalui industri tekstil. Dengan mesin-mesin tercanggih dari Swiss dan Jerman, kami mampu memangkas waktu produksi dan menjamin kualitas yang memenuhi standar ketat pasar Eropa," ujarnya. Mesir memanfaatkan keuntungan geografisnya melalui Terusan Suez, yang memungkinkan pengiriman garmen ke pelabuhan-pelabuhan utama Eropa dalam hitungan hari, jauh lebih cepat dibandingkan pengiriman dari Asia Tenggara.

Sementara itu, di wilayah Afrika Timur, Kenya sedang menikmati masa keemasan manufaktur melalui penguatan Zona Pemrosesan Ekspor (EPZ). Pemerintah Kenya baru-baru ini menyetujui anggaran besar untuk pengembangan infrastruktur di pusat-pusat industri seperti Athi River dan Naivasha. Jaswinder Bedi, Ketua Export Promotion Council Kenya dan tokoh veteran dalam industri tekstil Afrika, memberikan analisisnya mengenai momentum ini. "Kenya telah mencapai titik balik di mana efisiensi tenaga kerja dan kepastian regulasi bertemu. Melalui kerangka kerja AGOA (African Growth and Opportunity Act), kami memberikan jalur hijau bagi merek-merek Amerika Serikat untuk mendapatkan pasokan pakaian bebas bea," jelas Bedi. Ia menambahkan bahwa transformasi digital di pabrik-pabrik Kenya telah meningkatkan produktivitas hingga 30 persen, membuat biaya produksi per unit menjadi sangat kompetitif.

Ekspansi di Mesir dan Kenya ini juga didorong oleh tren "near-shoring" dan "friend-shoring", di mana perusahaan-perusahaan global seperti Inditex dan H&M mulai mendiversifikasi basis produksi mereka guna menghindari gangguan rantai pasok. Keunggulan energi yang lebih murah di Mesir dan komitmen Kenya terhadap penggunaan energi terbarukan (panas bumi) di kawasan industrinya menjadi daya tarik tambahan bagi perusahaan yang kini sangat peduli pada aspek keberlanjutan (sustainability).

Namun, tantangan tetap ada. Integrasi rantai pasok lokal dan ketersediaan bahan baku berkualitas tinggi di dalam benua Afrika masih menjadi pekerjaan rumah. Meskipun demikian, dengan dukungan penuh pemerintah dan arus investasi yang terus mengalir, Mesir dan Kenya diprediksi akan mengubah lanskap mode global pada 2026. Dominasi ini tidak hanya menciptakan jutaan lapangan kerja baru bagi populasi muda di Afrika, tetapi juga memberikan tekanan kompetitif baru bagi negara-negara produsen tradisional di Asia untuk memperbarui strategi mereka agar tetap relevan di pasar internasional.