Industri fashion global menjadi salah satu penyumbang terbesar limbah plastik dan pencemaran lingkungan akibat tingginya konsumsi pakaian berbahan sintetis. Menurut penelitian North Carolina State University yang diterbitkan dalam jurnal Nature Communication, lebih dari 20 juta ton sampah plastik dihasilkan dari konsumsi pakaian pada 2019, di mana 40 persen di antaranya tidak dikelola dengan baik dan mencemari lingkungan.
Di Indonesia, timbunan limbah tekstil diperkirakan mencapai 2,3 juta ton per tahun, dengan proyeksi peningkatan sebesar 70 persen jika tidak ada intervensi. Pada 2030, jumlah limbah tekstil di Indonesia diperkirakan mencapai 3,9 juta ton, menjadikannya sebagai negara dengan tingkat polusi air tertinggi kedua akibat industri tekstil di antara negara-negara G20.
Beberapa faktor utama yang menyebabkan tingginya limbah tekstil adalah tren fast fashion yang mendorong konsumen untuk sering membeli dan membuang pakaian, overproduction oleh perusahaan yang memproduksi lebih banyak dari kebutuhan pasar, serta penggunaan bahan sintetis yang sulit terurai secara alami. Jika tidak segera diatasi, limbah tekstil akan terus meningkatkan pencemaran lingkungan, emisi karbon, dan eksploitasi sumber daya alam.
Sebagai solusi, berbagai perusahaan fesyen mulai menerapkan teknologi daur ulang tekstil. Metode mechanical recycling memungkinkan kain bekas dihancurkan menjadi serat baru, meski dengan kualitas lebih rendah dibanding serat asli. Sementara itu, chemical recycling menggunakan bahan kimia untuk memecah serat tekstil agar dapat diolah kembali menjadi serat berkualitas tinggi, meskipun metode ini masih menghadapi tantangan biaya produksi yang tinggi. Teknologi lain seperti biodegradation dan enzymatic recycling memanfaatkan enzim untuk mengurai kain tanpa meninggalkan limbah berbahaya, meski masih dalam tahap pengembangan.
Selain inovasi daur ulang, konsep circular fashion juga mulai diterapkan oleh berbagai merek untuk memperpanjang umur pakaian melalui desain ulang dan perbaikan. Beberapa brand ternama seperti Patagonia dan Stella McCartney telah mengadopsi pendekatan ini dalam lini produk mereka.
Namun, penerapan teknologi daur ulang tekstil masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk biaya produksi yang tinggi, infrastruktur daur ulang yang belum memadai, serta rendahnya kesadaran konsumen akan pentingnya memilih produk fesyen yang berkelanjutan.
Meski demikian, prospek teknologi daur ulang tekstil semakin menjanjikan seiring dengan meningkatnya regulasi yang mendukung keberlanjutan serta tuntutan konsumen terhadap produk yang lebih ramah lingkungan. Dengan inovasi yang terus berkembang, industri fashion memiliki peluang besar untuk mengurangi dampak lingkungan sekaligus menciptakan sistem produksi yang lebih berkelanjutan.