Langkah berani Meksiko di penghujung tahun 2025 menjadi sorotan dunia, terutama bagi pelaku industri tekstil dan garmen global. Keputusan Presiden Claudia Sheinbaum untuk mengetok tarif hingga 50% terhadap lebih dari 1.400 produk asal Tiongkok dan negara-negara non-perjanjian dagang lainnya menandai babak baru dalam proteksionisme ekonomi di Amerika Latin.

Senat Meksiko secara resmi menyetujui RUU tarif baru yang mengenakan bea masuk sebesar 5% hingga 50% pada 1.463 kategori produk, termasuk tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki. Kebijakan ini merupakan upaya agresif pemerintahan Sheinbaum untuk membentengi produsen domestik dari "banjir" barang murah asal Tiongkok yang selama satu dekade terakhir tumbuh hampir dua kali lipat menjadi $130 miliar.

"Kami ingin 'Plan Mexico' terpenuhi tanpa mengganggu ekonomi nasional. Ini bukan tentang membatasi perdagangan, melainkan memperkuat ekonomi dalam negeri," ujar Sheinbaum. Pemerintah Meksiko memproyeksikan pendapatan tambahan sebesar $2,8 miliar dari kebijakan ini, yang akan dialokasikan untuk pemulihan sektor tekstil yang sempat terpuruk pasca-pandemi.

Keputusan Meksiko ini tidak lepas dari tekanan geopolitik. Di bawah bayang-bayang peninjauan kembali perjanjian USMCA pada Juli 2026, Washington terus menekan Meksiko agar tidak menjadi "pintu belakang" (backdoor) bagi produk Tiongkok untuk menghindari tarif Amerika Serikat.

Presiden Donald Trump bahkan sempat mengancam akan menarik diri dari USMCA jika Meksiko tidak menindak tegas penyelundupan dan pengaruh ekonomi Tiongkok yang berlebihan. Dengan memberlakukan tarif ini, Meksiko mencoba "bermain cantik" untuk mengamankan posisi tawarnya di hadapan AS sekaligus menunjukkan komitmennya sebagai mitra dagang yang patuh pada aturan main regional.

Yang mengejutkan, kebijakan ini ternyata juga menyasar beberapa negara Asia lain, termasuk Indonesia. Karena Indonesia tidak memiliki perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan Meksiko, produk garmen dan tekstil Indonesia turut terancam terkena tarif tinggi tersebut.

Meskipun Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sempat menyatakan bahwa dampak langsungnya terhadap neraca dagang Indonesia mungkin kecil karena volume ekspor ke Meksiko yang tidak dominan, para analis industri tetap waspada. Kekhawatirannya adalah efek domino: jika barang Tiongkok "ditolak" oleh Meksiko dan AS, produk-produk murah tersebut kemungkinan besar akan dialihkan ke pasar yang lebih terbuka, seperti Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Hal ini bisa semakin memperparah krisis tekstil domestik yang sudah goyah sejak awal tahun.

Kementerian Perdagangan Tiongkok merespons dengan cepat dan tajam. Mereka mendesak Meksiko untuk segera "memperbaiki praktik sepihak dan proteksionisme yang keliru." Tiongkok menekankan bahwa tindakan ini dapat merusak kepentingan sah perusahaan-perusahaan mereka dan mengganggu stabilitas rantai pasok global.

Bagi industri garmen, perang tarif ini berarti biaya bahan baku kemungkinan akan naik di pasar Amerika Latin, namun bagi produsen lokal Meksiko, ini adalah napas baru untuk merebut kembali pasar yang selama ini didominasi oleh merek-merek fast fashion impor.