Melemahnya sektor industri padat karya seperti tekstil tidak hanya berdampak pada sektor ekonomi, tetapi juga memberikan efek signifikan pada dunia pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Solo, Lukman Hakim, yang menyatakan bahwa dengan menurunnya sektor industri, banyak lulusan pendidikan terpaksa beralih ke sektor jasa yang kini lebih mendominasi perekonomian Indonesia.
"Saat ini, sektor jasa yang paling kuat. Ini berdampak pada dunia pendidikan, di mana sebagian besar lulusan kita akan terserap di jasa," ujar Lukman.
Bahaya Deindustrialisasi
Menurut Lukman, melemahnya sektor industri dan ditinggalkannya sektor pertanian dapat menjadi ancaman serius bagi ekonomi Indonesia, sebuah kondisi yang dikenal sebagai deindustrialisasi. Idealnya, transformasi ekonomi harus berjalan secara bertahap, dimulai dari sektor pertanian ke industri, dan kemudian ke sektor jasa. Namun, kondisi saat ini menunjukkan bahwa sektor jasa lebih mendominasi, sementara kontribusi sektor industri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) telah menurun secara signifikan.
"Kontribusi industri terhadap PDB kini hanya sekitar 15-16 persen, padahal sebelumnya mencapai 21-22 persen," jelas Lukman. Ia menambahkan bahwa selama 10 tahun terakhir, sektor industri tidak menjadi prioritas, dan hal ini diperparah dengan banjirnya produk impor, terutama dari Cina, yang semakin mendominasi pasar Indonesia.
Serbuan Produk Impor Menekan Industri Lokal
Salah satu faktor utama yang menyebabkan melemahnya industri tekstil adalah kebijakan impor yang terlalu terbuka. Produk impor, terutama dari Cina, membanjiri pasar Indonesia dengan harga yang jauh lebih murah, membuat produk lokal sulit bersaing. "Cina mendorong produksi massal dan pemerintah mereka mencari pasarnya. Sementara di Indonesia, pemerintah kita diam-diam saja, membiarkan industri mati dengan sendirinya," ujar Lukman dengan nada prihatin.
Ketua I ISEI Solo, Mulyanto, juga menyoroti masalah ini. Menurutnya, kebijakan liberalisasi impor yang tidak dibatasi membuat masyarakat lebih memilih produk impor yang lebih murah, sehingga perusahaan-perusahaan lokal yang memproduksi barang serupa dengan harga lebih tinggi kesulitan untuk bertahan.
"Ketika impor diliberalkan tanpa batas, barang-barang dari luar yang harganya relatif murah diserbu pasar Indonesia. Akibatnya, perusahaan-perusahaan lokal yang memproduksi barang serupa tapi dengan harga lebih mahal tidak laku," jelas Mulyanto.
Dampak terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan Daya Saing
Melemahnya sektor industri tekstil tidak hanya menurunkan daya saing ekonomi, tetapi juga mengurangi penyerapan tenaga kerja. Mulyanto menjelaskan bahwa selama masa kepemimpinan Presiden Jokowi, peran industrialisasi dalam penyerapan tenaga kerja justru semakin berkurang. Hal ini memperburuk situasi di mana semakin sedikit tenaga kerja yang terserap di sektor manufaktur, termasuk industri tekstil yang dulunya merupakan sektor padat karya.
Mulyanto juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi ekonomi Indonesia saat ini, di mana banyak aktivitas ekonomi yang mungkin tidak melibatkan tenaga kerja lokal. "Masyarakat kita tersisih, dan semakin sulit berusaha karena biaya yang tinggi," tambahnya.
Pentingnya Pembenahan Industri Tekstil
Para pakar menekankan pentingnya pembenahan serius di sektor industri, khususnya tekstil, untuk mencegah Indonesia tertinggal dalam kompetisi global. Dukungan terhadap industri lokal dan kebijakan yang melindungi pasar domestik sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan yang ada.
Tanpa langkah-langkah konkret, deindustrialisasi akan terus berlanjut, dan dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh sektor ekonomi, tetapi juga pada masa depan angkatan kerja Indonesia.