Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia menghadapi tekanan besar akibat membanjirnya produk impor, terutama yang bersifat ilegal. Hal ini diungkapkan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin), yang menyatakan bahwa banjir produk impor telah menekan permintaan dalam negeri, terutama di sektor pakaian jadi.

Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif, menyoroti bahwa tren penurunan permintaan dalam industri pakaian jadi sudah terjadi sejak Mei 2024. Hal ini terlihat dari data Indeks Kepercayaan Industri (IKI) di bulan September 2024 yang masih menunjukkan adanya tekanan terhadap sektor tekstil. Meskipun industri tekstil pada bulan tersebut terlihat ekspansif dengan IKI di atas level 50, secara umum, pemulihan belum terjadi secara menyeluruh sejak masuknya produk impor.

Febri juga menekankan bahwa penurunan permintaan paling signifikan terjadi di luar kawasan berikat, yaitu wilayah yang tidak berorientasi ekspor. Namun, ancaman serupa juga mungkin terjadi di kawasan berikat, di mana produk pakaian jadi yang tidak terserap pasar ekspor dapat dialihkan ke pasar domestik, memperburuk kondisi industri konveksi dalam negeri yang sudah tertekan oleh banjir impor.

Permendag 8 Tahun 2024 dan Dampaknya

Salah satu penyebab utama masalah ini adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024. Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Reni Yanita, aturan ini memungkinkan masuknya produk impor tanpa persetujuan teknis, yang pada gilirannya menghantam industri tekstil dalam negeri. Kebijakan ini, khususnya, sangat berdampak pada produsen kain yang mengandalkan pasar lokal untuk kelangsungan bisnis mereka.

Kerugian Ekonomi Akibat Produk Impor Ilegal

Selain industri besar, dampak banjir impor juga dirasakan oleh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Temmy Setya Permana, Plt Deputi Bidang UKM Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM), mengungkapkan bahwa maraknya produk impor, khususnya barang konsumsi seperti pakaian jadi, telah mendistorsi pasar dalam negeri. Tidak hanya UMKM yang terdampak, namun juga perusahaan besar di sektor TPT.

Temmy mencatat bahwa banyak produk pakaian jadi (HS 60-63) yang masuk secara ilegal ke Indonesia. Perbedaan data antara ekspor TPT dari China dan impor yang tercatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 50%, menunjukkan adanya impor yang tidak tercatat secara resmi. Kondisi ini semakin memperparah tekanan terhadap pasar dalam negeri, mengakibatkan kerugian yang signifikan bagi pelaku industri tekstil nasional.

Banjir impor, terutama yang ilegal, telah menciptakan tekanan besar terhadap industri tekstil Indonesia. Kebijakan Permendag 8 Tahun 2024 serta adanya impor yang tidak tercatat secara resmi memperburuk situasi, baik bagi perusahaan besar maupun UMKM. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah-langkah tegas dari pemerintah dalam mengendalikan produk impor ilegal serta perlindungan terhadap industri dalam negeri.